Kebencian yang Tersesat

Bismillah,

Sering kita salah menempatkan kebencian. Oke, ralat! Bukan kita tapi saya.
Pasalnya, beberapa waktu lalu saya membeli satu pack roti tawar bukan merk roti terkenal se-Indo tapi roti tawar khas lokal untuk dibuat sarapan, sandwich, untuk serumah. Ternyata jumlahnya tidak genap. Well, genap si cuma ya genapnya satu setengah. Satunya utuh putih, satunya kulit kuning yang potongannya tebal di pinggir tipis di tengah. Kebayang kan kenapa saya sebut satu setengah? Jadi sisa ini ga bisa dioptimalkan deh karena bikin ga adil di sajian sandwich-nya. Jadilah dia, saya asingkan dulu untuk ntaran.
Berlalulah sehari, dua hari.
Hari ketiga, beberapa waktu setelah subuhan dalam kondisi kelaparan, saya jalan menyusuri dapur mana tahu ada yang bisa mengganjal perut. Keingetlah saya sama sisa roti tawar kemarin itu. 
Bahagia dong ada roti. Lumayan enak kalo dipanggang dikit walau cuma sama mentega. Tapi ternyata roti ini saya temukan mengenaskan! Rotinya bolong-bolong. Ngeri-ngeri sedap penampakannya, untung saja saya ga phobia ama bentuk-bentuk begini. Karenaaaa, digerogoti semyut! Yap, kalo yang baca thread ini adalah pelanggan lama (wkwk yang mengenal saya dengan url dan nama blog super alay) kayaknya apal betapa saya tidak suka semut menyerang yang saya suka. Bukan ga suka semutnya. Tapi sekali lagi, lebih ke ga suka semut menyerang sesuatu yang saya suka. 
Alhasil, pagi-pagi saya ngomel sendiri sama semut. Monolog. Menggali-gali alasan kenapa mereka memakan roti saya sambil setengah kesal. Lupa kalau roti itu memang sudah berjamur walaupun hanya di pinggiran. Setelah roti itu nyaris benar-benar bersih dengan sebisa mungkin tanpa dzalim tanpa mencubit semut, barulah tampak nyata si jamur-jamur hijau di rotinya. 
Saya tertegun. Ah ini memang bukan hak saya. Kenapa saya benci? Kenapa saya ngedumel? Atas dasar apa saya berhak menuntut? 
Iya, saya telah sesat menempatkan benci. Menggerutu seolah membela hak padahal sudah bukan. Saya yang menelantarkannya, tidak memperlakukannya dengan baik. Saya bisa saja kan menyimpan roti itu di lemari. Mengikat rapat bungkusannya. Tapi tidak saya lakukan karena telah saya anggap tak begitu berguna. Lalu ketika ada entitas lain yang memanfaatkan apa yang dulu saya sia-siakan, jiwa tertrigger untuk kembali merasa memiliki, seolah itu masih dalam ruang hak diri.
Pihak lain yang bersalah? Atau kita yang sering serakah?

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.