Profesi

Bismillah,

#cerita #fiktif

Aku sudah bertekad. Aku tidak ingin berprofesi sebagaimana bapak dan mak. Bagiku profesi keduanya tidak keren, berdagang. Di masa depan nanti, Aku harus lebih baik. Setidaknya kalaupun garis tanganku akan tetap menggiringku sebagai pedagang -karna nyatanya darah pedagang mengalir dalam tubuhku- aku memilih untuk memasarkan produk yang lebih laris dengan konsep kreatif dan inovatif. Sampai saat ini tidak ada inovasi apapun yang dapat ditemukan dari dagangan orang tuaku. Dan mungkin tidak akan ada inovasi.

Ada banyak profesi di dunia ini yang bapak dan mak bisa lakoni. Guru, pegawai negeri sipil, polisi, bidan dan banyak lagi yang lebih prestige. Aku heran mengapa bapak dan mak tak memilih salah satunya selain berdagang. Pun jika berdagang mengapa kedua orang tuaku tak memilih dagangan yang lebih keren seperti cafe & resto, usaha cake, kain, atau usaha jahit begitu, barang kali aku bisa meneruskannya dengan membangun butik suatu saat nanti.

Aku sudah berulang kali menyampaikan keluh kesahku pada bapak dan mak hingga aku menyerah dengan sendiri-nya. Setiap kali kusampaikan, bapak dan mak serentak menjawab,
"Kamu hanya belum paham manfaatnya, Nak". Iya, aku tidak pernah paham. Sampai suatu hari bapak dan mak tidak bisa menjaga toko (Oh, aku malas menyebutnya warung kayu beratap rumbia!). Akibatnya, aku yang harus menjaganya.

Entah apa yang Rabb inginkan, hari itu daganganku laris. Aku merasa baru dengan perasaan ini. Ketika kita sama sekali tidak bahagia atas lakunya dagangan. Aku justru diselimuti rasa cemas, tubuh yang menggigil dan kepasrahan utuh.
Hari itu banyak orang-orang yang pulang. Pulang ke tanah sebelum menuju akhirat. Ya, bapak dan mak berdagang kain kafan, kapas, jeruk kasturi, bunga kenanga, dan kapur barus.

Hari itu aku sadar, inovasi bapak dan mak bukan ada pada dagangannya. Inovasi itu terjadi pada keimanan terhadap Ilahi, keyakinan akan adanya hari akhir.
Aku, menarik kembali segala keluhanku. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.