Tentang Author!
Bismillah,
Ceileeew, judulnya #uhuk (sayangnya ngga boleh minum)
Ngga sih, ini sebagian kecil tentang anak pesantren.
Ngga sih, ini sebagian kecil tentang anak pesantren.
Tulisan ini sengaja diterbitkan karena untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang pembaca blog ini.
Huhu, terima kasih telah ikut membaca dan meramaikan #terharu #adaternyata
Sudah saya beri label "pgp" karena menurut saya akan penting bagi sebagian, tapi tidak penting bagi sebagian. Tapi kalau mengetahui "Tentang Author" menurut pembaca sendiri penting, silakan lanjut membaca B-) (fufufufu)
Harapannya, apa yang ditulis di sini dapat dipetik hikmahnya.
Semoga bermanfaat!
Pertanyaannya begini,
Halo Mr. Andika! Saya tambahkan Mr. karena saya dipanggil ibu, jadi lebih fair.
Deskripsi Author di sebelah kanan ini ternyata cukup menarik perhatian ya. Tapi itu yang saya alami dan sampai sekarang memberikan banyak pembelajaran hidup bagi saya, pribadi.
Tanpa memperpanjang muqaddimah (dari awal tadi udah panjang banget!) marilah kita simak penuturan Ms. Author.
1. Ya. sesungguhnya itu yang pertama selalu saya lakukan. Bagi saya, senyum lebih dari cukup. Selama yang saya alami, ketika tersenyum, kita justru akan mendapatkan sebuah pikiran bijaksana dari penanya, yang menjawab sendiri pertanyaannya. Pikiran itu bahkan tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Tapi, ketika menghadapi penanya yang cenderung kurang puas dengan senyuman, jawaban paling praktis adalah beasiswa, untuk pertanyaan "kenapa mau balik ke pondok lagi".
Banyak orang yang tidak percaya dengan keinginan sendiri untuk mengabdi. Sebaliknya, meyakini bahwa "beasiswa" adalah paksaan kembali ke sana, menjadi jawaban paling logis yang dapat diterima orang-orang.
Soal pertanyaan merendahkan, kita dapat menjadikannya motivasi. Setidaknya, itu yang saya lakukan. Saya pernah menerimanya ketika Ujian Sekolah, di saat ujian tengah berlangsung dari seorang pengawas luar sekolah. Pertanyaan itu menjadi salah satu penyemangat untuk belajar lebih baik, terutama di masa-masa Ujian Tertulis Nasional untuk masuk Kampus Gajah (walau bagi orang tua saya, saya masih malas). Btw, saya udah selesai di pondoknya, setahun. Katakan saja karena ingin lanjut sekolah. Mencari ilmu lebih, semoga bisa memberikan yang lebih baik juga. Bantu doakan yaaa (sudah selesai jadi "Ibu" juga << peringatan)
2. Baik Anak SMA, maupun Anak pesantren memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selama ilmu yang didapat, diamalkan, keduanya amatlah berharga. Fenomenanya, tidak jarang kita lihat anak pesantren yang justru "kehilangan" ilmu-ilmu kepesantrenannya. Persoalan istiqomah, memang sulit sekali diamalkan, tidak terkecuali dengan saya. Tidak sedikit pula anak dari sekolah negeri yang keistiqomahan dan pemahamannya tertanam hingga ke lubuk hati. Mereka menerapkan langsung apa yang sering dipelajari anak pesantren "Al-ilmu fi shshuduur, la fil kitab". Banyak juga anak pesantren yang tetap teguh, dan semoga Allah terus meneguhkan langkah-langkah itu fi sabilillah. Seiring waktu beberapa anak sekolah negeri yang dulu manut, bertransformasi menjadi pemikir filosofis yang kehilangan arah, karena mungkin tidak mendapatkan pendidikan tasawuf yang didapatkan anak pondok.
Statement di paragraf terakhir saya aminkan, semoga. Bisa banget memang.
Tapi, btw pemimpin tentu boleh dari kalangan mana saja, selama ia teguh dan lurus pada kebenaran tanpa banyak konspirasi yang melelahkan (haha). Pertanyaan ini, saya punya contoh adiknya temen yang dari pesantren juga dan jadi imam shalat di mesjid kampus, beliau tidak enggan. Kalau saya mah enggan, karena perempuan. Haha. Ada juga senior yang aktif di himpunan mahasiswa, beliau tidak enggan. Kalau ada yang enggan, saya pikir terdapat berbagai faktor seperti pilihan, ketertarikan, kemampuan, dan latar belakang. Hal ini dikembalikan pada pribadi masing-masing. Ada yang ingin jadi ketua, tapi pemahamannya belum se-menyeluruh kandidat lain. Walaupun ingin, tapi ia percaya pada "serahkan suatu urusan pada ahlinya", maka seseorang mengalah. Ada yang kandidatnya berpotensi, tapi dirinya tidak cukup tertarik. Apalagi ia memahami hadits "dilarang meminta jabatan". Peran sebagai pemimpin tentu bukan hal mudah untuk dipertanggungjawabkan, baik di hadapan orang yang dipimpin tertutama di akhirat kelak. Begitu pula lulusan pesantren yang ke Kampus Gajah ini. Ada yang mau, tapi qadarullah jalan hidup yang Allah pilihkan. Yang tidak mau, mungkin telah menemukan kenyamanan lingkungan atau tempat yang lebih baik dibanding di sini. Lagi-lagi ini soal preferensi pribadi.
Allahua'lam...
Sudah saya beri label "pgp" karena menurut saya akan penting bagi sebagian, tapi tidak penting bagi sebagian. Tapi kalau mengetahui "Tentang Author" menurut pembaca sendiri penting, silakan lanjut membaca B-) (fufufufu)
Harapannya, apa yang ditulis di sini dapat dipetik hikmahnya.
Semoga bermanfaat!
Pertanyaannya begini,
Andika mengatakan...Jawabannya begini,
Izin bertanya bu, tentang anda!
apa jawaban ibu ketika ditanya "kok bisa ke ITB?" dan "kok mau balik lagi ke pondok"
saya yakin, ibu tidak menjawabnya hanya dengan tertawa kecil saja kan?
Bagi saya pribadi pertanyaan itu seperti merendahkan nilai seorang santri
seperti pertanyaan "dipesantren diajarin buat bom ya?"atau "hati hati dipesantren jangan sampai jadi teroris!" walaupun dalam bentuk candaan (pengalaman)
Dulu sewaktu SMA,pribadi iri terhadap para santri dengan segala kelebihan mereka
Sewaktu saya jadi santri (4 tahun,ulang dari awal), sebagian santri iri terhadap siswa siswi dengan SMA, tidak sadar pada nilai diri mereka yang mahal!
Kalau santri masuk ITB! mereka yang akan menjadi pemimpin para ilmuwan,teknokrat,insinyur tersebut! Mengimami shalat shalat mereka, mentarbiyah mereka, mentahsin bacaan Al Quran mereka, memimpin UKM-UKM dll.
Tapi
Karena pelbagai hal sebagian santri enggan untuk kesana
menurut ibu, kenapa?
Halo Mr. Andika! Saya tambahkan Mr. karena saya dipanggil ibu, jadi lebih fair.
Deskripsi Author di sebelah kanan ini ternyata cukup menarik perhatian ya. Tapi itu yang saya alami dan sampai sekarang memberikan banyak pembelajaran hidup bagi saya, pribadi.
Tanpa memperpanjang muqaddimah (dari awal tadi udah panjang banget!) marilah kita simak penuturan Ms. Author.
1. Ya. sesungguhnya itu yang pertama selalu saya lakukan. Bagi saya, senyum lebih dari cukup. Selama yang saya alami, ketika tersenyum, kita justru akan mendapatkan sebuah pikiran bijaksana dari penanya, yang menjawab sendiri pertanyaannya. Pikiran itu bahkan tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Tapi, ketika menghadapi penanya yang cenderung kurang puas dengan senyuman, jawaban paling praktis adalah beasiswa, untuk pertanyaan "kenapa mau balik ke pondok lagi".
Banyak orang yang tidak percaya dengan keinginan sendiri untuk mengabdi. Sebaliknya, meyakini bahwa "beasiswa" adalah paksaan kembali ke sana, menjadi jawaban paling logis yang dapat diterima orang-orang.
Soal pertanyaan merendahkan, kita dapat menjadikannya motivasi. Setidaknya, itu yang saya lakukan. Saya pernah menerimanya ketika Ujian Sekolah, di saat ujian tengah berlangsung dari seorang pengawas luar sekolah. Pertanyaan itu menjadi salah satu penyemangat untuk belajar lebih baik, terutama di masa-masa Ujian Tertulis Nasional untuk masuk Kampus Gajah (walau bagi orang tua saya, saya masih malas). Btw, saya udah selesai di pondoknya, setahun. Katakan saja karena ingin lanjut sekolah. Mencari ilmu lebih, semoga bisa memberikan yang lebih baik juga. Bantu doakan yaaa (sudah selesai jadi "Ibu" juga << peringatan)
2. Baik Anak SMA, maupun Anak pesantren memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selama ilmu yang didapat, diamalkan, keduanya amatlah berharga. Fenomenanya, tidak jarang kita lihat anak pesantren yang justru "kehilangan" ilmu-ilmu kepesantrenannya. Persoalan istiqomah, memang sulit sekali diamalkan, tidak terkecuali dengan saya. Tidak sedikit pula anak dari sekolah negeri yang keistiqomahan dan pemahamannya tertanam hingga ke lubuk hati. Mereka menerapkan langsung apa yang sering dipelajari anak pesantren "Al-ilmu fi shshuduur, la fil kitab". Banyak juga anak pesantren yang tetap teguh, dan semoga Allah terus meneguhkan langkah-langkah itu fi sabilillah. Seiring waktu beberapa anak sekolah negeri yang dulu manut, bertransformasi menjadi pemikir filosofis yang kehilangan arah, karena mungkin tidak mendapatkan pendidikan tasawuf yang didapatkan anak pondok.
Statement di paragraf terakhir saya aminkan, semoga. Bisa banget memang.
Tapi, btw pemimpin tentu boleh dari kalangan mana saja, selama ia teguh dan lurus pada kebenaran tanpa banyak konspirasi yang melelahkan (haha). Pertanyaan ini, saya punya contoh adiknya temen yang dari pesantren juga dan jadi imam shalat di mesjid kampus, beliau tidak enggan. Kalau saya mah enggan, karena perempuan. Haha. Ada juga senior yang aktif di himpunan mahasiswa, beliau tidak enggan. Kalau ada yang enggan, saya pikir terdapat berbagai faktor seperti pilihan, ketertarikan, kemampuan, dan latar belakang. Hal ini dikembalikan pada pribadi masing-masing. Ada yang ingin jadi ketua, tapi pemahamannya belum se-menyeluruh kandidat lain. Walaupun ingin, tapi ia percaya pada "serahkan suatu urusan pada ahlinya", maka seseorang mengalah. Ada yang kandidatnya berpotensi, tapi dirinya tidak cukup tertarik. Apalagi ia memahami hadits "dilarang meminta jabatan". Peran sebagai pemimpin tentu bukan hal mudah untuk dipertanggungjawabkan, baik di hadapan orang yang dipimpin tertutama di akhirat kelak. Begitu pula lulusan pesantren yang ke Kampus Gajah ini. Ada yang mau, tapi qadarullah jalan hidup yang Allah pilihkan. Yang tidak mau, mungkin telah menemukan kenyamanan lingkungan atau tempat yang lebih baik dibanding di sini. Lagi-lagi ini soal preferensi pribadi.
Allahua'lam...
Tidak ada komentar: