Membayar Sesal

Membayar Sesal

Hari ini adalah hari istimewa. Hari Jumat. Oke, setiap muslim memang mengistimewakan hari ini. Namun, bagi kami Hari Jumat istimewa karena suatu alasan khusus.
~••~
Malam itu hujan deras, aku berjalan sendiri menyusuri trotoar menggunakan mantel hujan. Karena lapar dan belum makan sejak pagi aku memutuskan untuk mampir di sebuah warung tenda yang menyediakan kebab. Kebab ini terkenal enak se-kota. Yah, walaupun sebenarnya kota ini memang kecil.
Saat memasuki tenda, aku melihat seorang perempuan yang sedang menunggu pesanannya. Ia terlihat menimbang-nimbang sesuatu, lantas memesan satu kebab varian lain. Aku tahu karena ia mengulang-ulang pesanannya pada penjual kebab yang terpecah konsentrasinya antara memasak dan mendengarkan pesanannya. Setelah menyimak pesanannya, penjual pun menanyakan pesananku. Pesanan kami dimasak berbarengan.
Setelah membayar pesananku, aku lanjut berjalan menuju taman kota. Hujan mulai sedikit reda. Saat memperhatikan sekitar aku kembali melihat perempuan itu. Ia seolah berbicara pada diri sendiri dan melihat kebab pesanannya. Dugaanku antara ia salah membeli atau ia sebenarnya tak ingin membelinya. Beberapa detik aku termenung, hujan kembali lebat menambah syahdunya tengah kota. Kehadirannya memaksa setiap langkah terhenti dan berteduh untuk sejenak memaknai. Begitupun aku, juga dia. Perempuan itu memilih berteduh di halaman kecil sebuah toko yang telah tutup. Aku memilih tepat di seberangnya. Dengan sangat jelas aku bisa melihatnya.
Semenit berselang, dia akhirnya meletakkan barang belanjaan dan duduk di lantai tak peduli. Ia kembali menatap dua bungkus kebab itu, dipilihnya satu untuk dimakan. Baru saja selesai gigitan pertama, seorang anak kecil berambut cepak lurus-saking lurusnya ujung-ujung rambutnya yang basah oleh air hujan terlihat lancar meneteskan air-datang mengamatinya. Adik itu membawa sebuah ember kecil berisi koin-koin uang. Ia jongkok di sebelah perempuan itu dan mengamati kakak di sampingnya makan.
Aku tahu dia sadar ia sedang diperhatikan. Ketakutannya terlihat dari caranya  melemparkan pandangan ke arah yang berbeda dari posisi adik tadi duduk. Dia berusaha tak peduli walau aku tahu dia sebenarnya resah. Sampai bagian kebab itu nyaris habis, aku perhatikan anak laki-laki itu masih duduk mengamati seksama perempuan di sebelahnya. Potongan terakhir yang dihabiskan sendiri oleh empunya membuat anak laki-laki itu beranjak, berdiri lalu meneruskan perjalanan sambil tertunduk.
Sementara itu, dia pun ikut bangkit. Setengah berlari mengejar dan mencari-cari kemana perginya sosok anak laki-laki yang membawa ember kecil berisi recehan. Langkahnya terhenti, tatapannya beralih pada sebungkus kebab di tangannya. Bergantian ia tatap kebab itu dan jalan yang dilalui anak laki-laki tadi. Tak ada tanda-tanda. Ia membuang nafas, berat. Di seberang sini aku dengan sangat jelas melihat anak laki-laki itu berada di balik sebuah bak sampah kota, membuka bak berwarna hijau bertuliskan "dedaunan dan sisa makanan"
~••~

Hari ini Hari Jumat. Hari yang kami beri nama hari membayar sesal. Penyesalan 6 tahun lalu atas ketakutan yang tidak seharusnya diciptakan. Penyesalan tidak memahami tanda. Istriku kini mengembangkan bisnis kuliner, sebuah restoran kebab dan burger. Setiap hari jumat seluruh karyawan dengan kebaikan hati mereka, membantu kami dalam agenda makan bersama dengan anak-anak "Mujahid fi sabilillah". Mungkin mereka pernah merasa hidup di jalan seorang diri tanpa orang tua, tapi itu dulu. Sekarang mereka adalah anak-anak kami. Anak-anak yang mengisi keceriaan hari-hari di sekolahku, sekaligus menjadi guru bagi adik-adiknya. Bukan hanya pelajaran, tapi juga kehidupan.
Oiya, tepat sekali. Istriku adalah perempuan yang sama yang aku lihat di warung kebab, di seberang jalan saat hujan waktu itu.
~••~

"Hei, boleh aku bertanya?"
"Apa itu kak?"
"Hm, pernah menyesal?"
...
...
"Waktu itu hujan. Aku belum makan sejak pagi. Kuputuskan mampir ke sebuah warung kebab yang kebetulan aku lewati. Awalnya aku hanya membeli satu kebab. Tapi entah ada angin apa, aku setengah bingung dan ragu memesan satu kebab lagi. Padahal aku tidak lapar. Setelah membayar pesananku, aku mulai mengutuki diriku karena sangat yakin satu kebab lainnya tak kan mampu kuhabiskan.
Sampai di sekitar taman kota, hujan lebat. Aku berhenti di sebuah halaman toko yang telah tutup, memutuskan berhenti, duduk dan makan sedikit. Seorang anak lalu berjalan melewatiku, namun ia kembali dan berjongkok di sampingku. Anak itu menatapku dan aku takut. Aku berusaha tak acuh. Hingga aku menghabiskan makananku ia pergi. Aku lalu teringat satu bungkus kebab yang kubeli tanpa alasan yang cukup jelas tadi. Ini pertanda, pikirku. Rabb mungkin ingin memberi makan anak itu lewat diriku tapi aku tak memberikannya. Aku bahkan tak benar-benar kelaparan dan menginginkan kebab itu. Ketika aku mengejar anak itu, aku tidak mampu menemukannya."
"..."
"Hm, itu penyesalanku Kak. Sejak saat itu, ketika bangun tidur aku berjanji pada diri sendiri untuk berusaha agar tidak ada lagi jiwa yang terdzalimi, setidaknya bukan karena kelaparan di depan mataku.
" :) "
"Kakak, pernah menyesal?"
"Penyesalanku karena tidak memberitahumu bahwa anak laki-laki itu masih termenung di balik bak sampah kota"
"Kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Tidak, tidak.."
"Lalu?"
" :) "
~••~

Di dapur, seorang pemuda tersenyum mendengar cerita pasangan pemilik restoran itu.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.