Wanita Karir

Bismillah,

Beberapa waktu lalu, saya mengalami sebuah kejadian yang membuat saya merasa gagal :'(
Membuat saya benar-benar berpikir akan jadi apa saya nanti.

Sore itu, saya tengah letih karena kegiatan seharian yang cukup menguras pikiran dan tenaga. Sekolah tempat saya mengabdi mengadakan syukuran atas eksistensinya selama 92 tahun. Yap, sekolah khusus puteri tertua di Indonesia yang sulit sekali dihitung jumlah dan penyebaran alumninya. Di yayasan ini, saya diamanahkan di suatu divisi otonom untuk (katakan saja) bantu-bantu). Hari itu adalah hari super sibuk. Saya harus mobile ke sana-ke mari untuk beberapa keperluan dan juga persiapan produksi produk perdana dari divisi tersebut. Ruangan kantor yang rangkap sebagai ruang produksi boleh dibilang macam gudang. Jadilah sore hari, ketika acara sudah selesai saya beberes sendiri, karna seorang rekan lagi sedang ada keperluan lain. Lagi pula sudah jam pulang. Tidak ada kewajiban untuk tetap di sekolah (sebagai catatan: lokasi kantor berada dalam lingkungan sekolah).

Di tengah kesibukan susun-menyusun, rapi-merapikan, baterai saya mulai lemah dan rasanya harus pulang. Kebetulan, saya menerima telfon dari anak-anak saya di asrama. Mereka menelfon dengan menggunakan paket cm. Lalu karena kerjaan menanggung saya pikir untuk menunda menelfon balik, dan menyelesaikan sedikit lagi pekerjaan saya. Saya mulai su'udzhon duluan. Karena biasanya mereka menelepon untuk urusan titip-menitip makanan ke pasar.
Oke, saya memang tidak terbiasa berinteraksi dengan hape. Alat itu hanya saya gunakan ketika menelepon orang tua, dosen, menghubungi teman jika penting, dibuka sekali sampai tiga kali jika ada waktu senggang. Selebihnya, barang itu terbiasa saya acuhkan. Tambah lagi, profil silence yang selalu saya gunakan. Saya sudah sering diomeli agar mengaktifkan telepon genggam. Beberapa teman bahkan kapok menelepon saya karna menunggu jawaban yang tak pasti kapan dijawabnya. Namun, kejadian kali ini benar-benar membuat saya belajar dan serasa diingatkan bahwa barang yang satu itu, juga punya peran penting.

Balik lagi, detik-detik berikutnya saya yang berniat meneruskan pekerjaan. Tiba-tiba saya merasa ada yang mengganjal tapi pekerjaan saya tetap saya pegang. Tak lama berselang telepon saya bunyi lagi, tapi ini dari kepala asrama.
"Assalamualaikum, Kak.."
"Waalaikumussalam, Dek. Anti sibuk?" Tanya sang kakak
"Ngga begitu kak, cuma beres-beres. Ada apa Kak?"
"Tinggalkan dulu. Anak anti terjatuh dan sepertinya harus segera dibawa ke rumah sakit."
Bisa terbayang reaksi saya? Saya hanya mengucap dan melepaskan apa yang saya pegang, lalu segera bergegas lari menuju asrama. Hanya bisa berdoa semoga anak saya baik-baik saja. Lalu menyesali kenapa niat pulang cepat tadi tidak langsung saya realisasikan saja. "Bagaimana keadaannya sekarang?"

Segera setelah sampai asrama, dia dilarikan ke rumah sakit dan kepalanya di pangkuan saya. Sepanjang perjalanan dia hanya menangis dan bergumam tak jelas. Tapi saya paham kalau dia kesakitan. Saya hanya berharap supaya rasa sakit itu diangkatkan oleh Allah, bahkan tak masalah jika dibagikan sebagian ke saya. Singkat cerita anak saya sampai ke rumah sakit, dan dipasangkan oksigen hingga ia dapat sekit lebih tenang. Diagnosa dokter mengatakan bahwa ia mengalami cedera otak ringan. Untuk observasi khawatir ada indikasi yang lebih buruk dan belum teramati, anak saya harus dirawat 2 hari di rumah sakit. Hari terakhir orang tuanya datang berkunjung. Anak saya ini termasuk anak-anak yang berdomisili di luar Sumatera Barat hingga jarang sekali dikunjungi orang tua karna pertimbangan biaya dan waktu.
Sewaktu saya menyaksikan pertemuan orang tua dan anak itu, momen itu sangat mengharukan.
Jarang sekali saya melihat seorang ayah menangis, tapi kini beliau menangis. Saya melihatnya sebagai tangisan khawatir bercampur rindu. Ya, ya. Bersama orang tua keadaannya in sya a Allah lebih baik. Dan Alhamdulillah anak saya mulai membaik.

Ya, kejadian ini membuat saya sempat merasa gagal sebagai ibu (Ibu Asrama) yang seharusnya memang dominan waktunya dihabiskan bersama anak-anaknya. Semoga ini jadi pelajaran bagi saya dan memang banyak sekali pelajarannya.

Kejadian ini juga memberikan saya kesempatan untuk merenung positif negatif memilih jalan hidup sebagai wanita karir.
Hasilnya? Saya bertawakal pada Allah atas hal itu :"

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.