Menyembunyikan Perasaan
Bismillah,
Menyembunyikan perasaan ternyata bukan hal mudah.
Dulu, saat bergabung menjadi taplok (panitia ospek yang berinteraksi langsung dengan kelompok-kelompok kecil mahasiswa baru) saya pernah diberikan pemahaman tentang guru. Orang yang selalu ceria kapanpun di mana pun. Ia tidak akan terlihat menangis di depan orang yang dibimbingnya, tidak terlihat cemberut, tidak lesu-lemas, tidak pula terbebani. Untuk waktu tiga hari lebih kurang, agaknya tidak perlu repot-repot menyembunyikan segala perasaan dan terpaksa menkonversi segala energi negatif menjadi energi positif. Lagi pula, tidak butuh satu hari bersama mereka. Hanya setengah hari dan sisanya bisa dihabiskan sendiri.
Sekarang tidak begitu. Dan sekarang menjadi lebih sulit. Tetap tersenyum manis saat tubuh tidak dalam keadaan sehat itu berat. Tetap asik saat segudang pikiran berkecamuk di kepala. Tetap bersikap tenang saat banyak hal yang membuat air mata mudah sekali menetes. Termasuk tetap melek saat mata mengantuk demi menemani yang dibimbing belajar. Setelah dijalani bukanlah termasuk hal yang mudah.
Seseorang meminta pada Rabb agar diajarkan keikhlasan. Tapi hingga saat ini jika pertanyaan "untuk apa" dan "kenapa" diberikan kepadanya, jawabannya selalu saja sangat sederhana, karna tidak ingin mereka terlalaikan. Baik ketika menyapa, menemani, ataupun mengabulkan permohonan. Dia sama sekali tidak tahu kapan ia bisa menemukan mutiara keikhlasan. Jika mudah saja menemukannya, tidaklah ikhlas menjadi tingkatan iman pertama.
Mungkin sedikit-sedikit saya bisa mengerti betapa sulit bagi orang-orang yang sedang menyembunyikan perasaan.
Tapi, tidak ada orang yang benar-benar bisa menyembunyikan perasaan, karna Allah tahu segalanya. Di hadapan Rabb, kita tidak perlu bersusah payah...
Menyembunyikan perasaan ternyata bukan hal mudah.
Dulu, saat bergabung menjadi taplok (panitia ospek yang berinteraksi langsung dengan kelompok-kelompok kecil mahasiswa baru) saya pernah diberikan pemahaman tentang guru. Orang yang selalu ceria kapanpun di mana pun. Ia tidak akan terlihat menangis di depan orang yang dibimbingnya, tidak terlihat cemberut, tidak lesu-lemas, tidak pula terbebani. Untuk waktu tiga hari lebih kurang, agaknya tidak perlu repot-repot menyembunyikan segala perasaan dan terpaksa menkonversi segala energi negatif menjadi energi positif. Lagi pula, tidak butuh satu hari bersama mereka. Hanya setengah hari dan sisanya bisa dihabiskan sendiri.
Sekarang tidak begitu. Dan sekarang menjadi lebih sulit. Tetap tersenyum manis saat tubuh tidak dalam keadaan sehat itu berat. Tetap asik saat segudang pikiran berkecamuk di kepala. Tetap bersikap tenang saat banyak hal yang membuat air mata mudah sekali menetes. Termasuk tetap melek saat mata mengantuk demi menemani yang dibimbing belajar. Setelah dijalani bukanlah termasuk hal yang mudah.
Seseorang meminta pada Rabb agar diajarkan keikhlasan. Tapi hingga saat ini jika pertanyaan "untuk apa" dan "kenapa" diberikan kepadanya, jawabannya selalu saja sangat sederhana, karna tidak ingin mereka terlalaikan. Baik ketika menyapa, menemani, ataupun mengabulkan permohonan. Dia sama sekali tidak tahu kapan ia bisa menemukan mutiara keikhlasan. Jika mudah saja menemukannya, tidaklah ikhlas menjadi tingkatan iman pertama.
Mungkin sedikit-sedikit saya bisa mengerti betapa sulit bagi orang-orang yang sedang menyembunyikan perasaan.
Tapi, tidak ada orang yang benar-benar bisa menyembunyikan perasaan, karna Allah tahu segalanya. Di hadapan Rabb, kita tidak perlu bersusah payah...
Tidak ada komentar: