Memperjuangkan Takdir

Bismillah,

Seorang pria di usia akhir kepala tiga sedang memperjuangkan takdir. Kilat matanya memancarkan berat perjuangannya.

Sekitar tujuh belas tahun yang lalu, ia adalah mahasiswa yang cerdas. Kepercayaan dosen di kampusnya. Sering kali ia diminta masuk menggantikan Dosen yang memiliki jam terbang sangat padat, harus mobile ke sana ke mari. Ia adalah pemuda dengan pemikiran terbuka, wawasan luas, dan akhlak yang luhur. Sampai saat ini, saat berbicara dengannya kita bisa membuktikan bahwa dia adalah lelaki yang baik dan cerdas.

Begitu pun dua puluh tujuh tahun yang lalu, ia adalah anak yang pandai. Tinggal di desa, dengan rumah mungil yang di kelilingi lahan sawah, tidak menjadikan kreatifitasnya buntu. Ia membuat sendiri kapal-kapalan, mainan pesawat terbang, pancingan, dan barang sejenis yang menarik perhatian para bocah seusianya, dengan tangan sendiri. Walaupun tak kenal dengan uang jajan dari Ibu, ia akrab dengan "penghasilan". Hampir seluruh karya tangannya laris manis diborong teman-temannya. Sedikit-sedikit ia simpan untuk membayar uang sekolah "membantu Ayah dan Ibu", katanya suatu kali.

Namun, hari ini ia jatuh bangun. Memperjuangkan takdir, mengubah nasib.
Di usianya kini, ia belum dikaruniai seorang anak pun. Ia bertemu dengan wanita yang takut pada fitrahnya. Na'udzubillah. Tapi, ia sungguh pemuda yang baik. Ia tidak mampu marah pada wanitanya, bahkan ia memberinya nasihat yang baik, mencoba memahamkan wanitanya akan fitrah masing-masing.

Kenyataan hidupnya saat ini, ia jatuh berkali-kali memperjuangkan usaha rumah makan. Ia telah berusaha maksimal mengumpulkan rupiah guna menunaikan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Perjuangannya sungguh membuat hati pilu. Banyak hak yang tak diterima, terbang melayang dimakan rentenir, perusahaan asuransi yang melanggar janji, dan pihak-pihak yang tak mengerti (tak peduli) tentang betapa berharganya menyantuni anak yatim. Andai mereka paham, mereka sesungguhnya punya peluang berdekatan dengan Rasulullah di akhirat, bagai jari telunjuk dan jari tengah yang merapat. Amat dekat.

Tahun lalu adalah kebahagiaannya. Usahanya membuahkan hasil. Banyak mahasiswa yang menyukai masakan khasnya. Keuntungan yang diperoleh cukup untuk melunasi segala hutang. Ia berdagang dengan jujur. Namun, takdir adalah hak Allah. Suatu hari urusan keluarga menuntutnya pulang ke kampung. Perannya sebagai anak lelaki Ibu amat diharapkan saat itu.
Hanya sebentar terasa olehnya hasil perjuangan, dan kini ia harus berjuang lagi dari awal.

---

Rabb, berikan kami pemahaman bahwa jaminan kesenangan dunia tidak lebih kami butuhkan dibanding kebahagiaan akhirat.
Rabb, jadikan setiap peluh keringat dan perjuangannya sebagai amal shalih di sisi-Mu...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.