Suara Hati
Bismillah,
"Hei!",
Suara itu terdengar samar di telinga sang gadis. Ia merasa ialah yang dituju suara itu. Penasaran, sang gadis pun mencari sekeliling, diperhatikannya orang-orang lalu lalang di hadapannya. Menoleh ke kiri, dan ke kanan. Tidak ada satu pun tanda-tanda seseorang sedang mengamatinya. Ia pun mencari ke belakang.
"Jangan! Jangan menoleh ke belakang!"
Gadis itu tersentak kaget. Refleks, tubuhnya mematung, memilih membatalkan niat menoleh ke belakang. Walaupun sebenarnya ia masih ragu dari mana arah datangnya suara itu. Kenapa tiba-tiba suasana begitu menyeramkan, pikirnya.
"Tenanglah! Aku ini temanmu. Teman yang selalu mengiringimu. Menatapmu, mengamatimu. Aku tidak punya maksud lain, selain..."
Kalimat itu terpotong. Sang gadis masih belum mengerti maksud perkataan itu. Jadi, ia ingin tahu lebih banyak, "Selain?"
"Selain memperingatkanmu agar tidak menoleh ke belakang."
"Ada apa sebenarnya?"
"Aku hanya tidak ingin kau merasa sakit,"
"Bagaimana aku bisa merasakannya? Sementara aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu yang ingin kau bicarakan."
"Justru karna kau tidak tahu apa-apa. Kau tidak melihat apa yang terjadi di belakangmu, kan? Aku bisa, aku melihatnya. Aku bisa menyaksikan dengan nyata bagaimana minyak atsiri diganti dengan minyak tanah. Aku mengamati orang-orang menuliskan tinta-tinta hitam di baju putihmu tanpa engkau sadari."
Gadis itu terpaku. Terdiam mencerna potongan kalimat yang baru saja didengarnya.
"Maaf, tadinya aku hanya ingin menyapamu. Aku hanya ingin bilang, teruslah, mantapkan langkahmu ke depan. Tetaplah gembira dan tersenyum. Senyum yang lahir dari ketulusan hatimu. Aku ingin agar kau tidak menoleh ke belakang. Hm, aku pikir di belakang sana bukanlah pemandangan yang akan membuatmu gembira. Di belakang sana tidak ada pembicaraan yang mampu membuatmu tersenyum."
Gadis itu tertunduk. Ia masih bingung. Bingung karena...Entahlah
"Sudahku bilang, aku ini temanmu. Teman itu saling percaya, kan? Jadi kau bersedia mempercayaiku?"
Seulas senyum kembali hadir, senyum khas sang gadis. Ia mengangguk mantap. Ya! tentu saja aku akan percaya. Terima kasih, Suara Hati. Aku tahu itu kamu...
"Hei!",
Suara itu terdengar samar di telinga sang gadis. Ia merasa ialah yang dituju suara itu. Penasaran, sang gadis pun mencari sekeliling, diperhatikannya orang-orang lalu lalang di hadapannya. Menoleh ke kiri, dan ke kanan. Tidak ada satu pun tanda-tanda seseorang sedang mengamatinya. Ia pun mencari ke belakang.
"Jangan! Jangan menoleh ke belakang!"
Gadis itu tersentak kaget. Refleks, tubuhnya mematung, memilih membatalkan niat menoleh ke belakang. Walaupun sebenarnya ia masih ragu dari mana arah datangnya suara itu. Kenapa tiba-tiba suasana begitu menyeramkan, pikirnya.
"Tenanglah! Aku ini temanmu. Teman yang selalu mengiringimu. Menatapmu, mengamatimu. Aku tidak punya maksud lain, selain..."
Kalimat itu terpotong. Sang gadis masih belum mengerti maksud perkataan itu. Jadi, ia ingin tahu lebih banyak, "Selain?"
"Selain memperingatkanmu agar tidak menoleh ke belakang."
"Ada apa sebenarnya?"
"Aku hanya tidak ingin kau merasa sakit,"
"Bagaimana aku bisa merasakannya? Sementara aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu yang ingin kau bicarakan."
"Justru karna kau tidak tahu apa-apa. Kau tidak melihat apa yang terjadi di belakangmu, kan? Aku bisa, aku melihatnya. Aku bisa menyaksikan dengan nyata bagaimana minyak atsiri diganti dengan minyak tanah. Aku mengamati orang-orang menuliskan tinta-tinta hitam di baju putihmu tanpa engkau sadari."
Gadis itu terpaku. Terdiam mencerna potongan kalimat yang baru saja didengarnya.
"Maaf, tadinya aku hanya ingin menyapamu. Aku hanya ingin bilang, teruslah, mantapkan langkahmu ke depan. Tetaplah gembira dan tersenyum. Senyum yang lahir dari ketulusan hatimu. Aku ingin agar kau tidak menoleh ke belakang. Hm, aku pikir di belakang sana bukanlah pemandangan yang akan membuatmu gembira. Di belakang sana tidak ada pembicaraan yang mampu membuatmu tersenyum."
Gadis itu tertunduk. Ia masih bingung. Bingung karena...Entahlah
"Sudahku bilang, aku ini temanmu. Teman itu saling percaya, kan? Jadi kau bersedia mempercayaiku?"
Seulas senyum kembali hadir, senyum khas sang gadis. Ia mengangguk mantap. Ya! tentu saja aku akan percaya. Terima kasih, Suara Hati. Aku tahu itu kamu...
Tidak ada komentar: