Tiga Serangkai

Bismillah,

*---*

Hai, perkenalkan aku dan dua sahabatku. Ya, tentu saja definisi sahabat berbeda dengan teman. Kami tiga serangkai, kami sahabat dekat. Kami bukan sahabat yang dipertemukan karena dari kecil rumah kami berdekatan, karena hubungan orang tua, karena persamaan hobi, atau karena-karena lainnya. Aku tak begitu paham apa yang membuat kami amat sangat "nempel" bukan lagi seperti perangko, tapi layaknya potongan baja yang dicairkan kemudian dibekukan, tak dapat dipisah sebab kami bertiga telah menyatu. Pernah kami memutuskan untuk hidup dengan cara masing-masing, tapi sahabatku yang satu enggan meninggalkanku, dan yang satu lagi malah membuatku nyaris sakau ditinggalkannya.

Sejak kapan kami dekat? Ah, pertanyaan itu konyol jika ditanyakan pada kami, sang tiga serangkai. Mana lah ada persahabatan yang dipengaruhi oleh waktu pertemuan. Bagi kami, persahabatan itu karena suatu ikatan. Ikatan imaginer yang menghubungkan kami satu sama lain. Sadar atau tidak sadar, ikatan itu mengikat kami sangat erat. Kini, izinkan aku menceritakan kedua sahabat baikku itu.

Sahabatku yang satu ini selalu mengejarku. Kemana pun aku melangkah, ia selalu saja mengiringiku. Ketika aku menyusuri jalan di jalur kanan, ia menyusuri jalan di jalur kanan persis seperti yang kulakukan. Jika aku berlari menyeberang jalan, ia berlari dengan kecepatan serupa. Sudah kukatakan sebelumnya bukan, ia enggan meninggalkanku. Suatu ketika kutanyakan mengapa ia selalu membuntutiku kian kemari, "Untuk mengawasimu, mengingatkanmu, menjagamu, memastikan kau memilih jalan yang tepat" Ia menjawab mantap. Terlalu mantap malah bagiku. Ah, cerewet sekali, dikiranya aku ini anak bayi yang tak pandai melangkah. Siapa betul dia yang sok mengawasiku. Baiklah kami sahabat, tapi ini keterlaluan. Aku pernah berpikir begitu tentangnya. Aku hanya bosan menyadari ada yang terus mengikutiku tanpa henti. Aku ingin bebas sendiri dengan kebahagiaan duniaku. Menikmati tiap detik dengan berleha-leha dan bersantai ria tentu mengasyikkan. Tapi entah karena iri atau sms (susah melihat aku senang), ia tak dapat sedetikpun meninggalkanku.

Pernah suatu kali aku memutuskan untuk bersembunyi darinya. Mengasingkan diri hingga tak satu orang pun yang tahu di mana aku. Berharap aku bisa bermain dan bersenang-senang sendiri. Saat itu aku memilih sebuah gudang tua bekas lumbung padi namun kini tak terpakai lagi. Mulai dari pagi hari hingga sore tenggelam di ufuk, aku bermain dengan puas. Melompat kegirangan, mendengarkan musik, kulakukan segala hal yang membuatku terhibur. Malam menjelang, aku yang pergi tanpa membawa bekal sama sekali, merasa kesepian. Jangankan rimah beras pengganjal perut, setitik sinar pun tak kutemukan di gudang itu. Gelap gulita, tak bisa bergerak.

Aku kalut, tubuhku kaku. Pada waktu yang sama, entah dari pintu mana datangnya, seseorang berjalan membawa lilin dan roti menuju ke arahku. Ia sahabatku. Aku sama sekali tak peduli bagaimana dia bisa sampai ke gudang ini, tapi aku amat sangat bersyukur dia selalu tahu di mana aku berada. Huft, aku mengalah.
Baiklah kami memang sahabat. Aku membutuhkannya, aku akui itu.

Satu lagi sahabatku. Ia alim sekali. Oke, aku tahu bagi sahabat sekelas dia, aku ini dianggap orang yang suka menghambur-hamburkan sesuatu, melakukan hal yang sia-sia, dan perbuatan buruk sejenisnya. Jadilah dia dengan kepercayaan diri yang penuh mengikhlaskan dirinya menjadi tempat aku menabung dan berinvestasi. Terkadang, saat aku sudah menabung dengan tangan kanan tapi masih mencadangkan simpanan di saku kiri untuk dipakai bermain, ia mulai dengan ceramahnya yang super panjang tentang totalitas. "Hindari perbuatan sia-sia, kawan! Jika mau menabung, tabunglah seluruhnya daripada sisanya kau gunakan untuk bermain tak karuan". Ia tak akan puas dengan ceramahnya hingga aku bercucuran air mata.

Pernah suatu kali ia tak ada, sementara aku sibuk bermain dengan teman-temanku yang lain. Aku tak merindukannya, aku tak mencari tahu kabarnya, aku tak mengiriminya pesan. Aku pura-pura tak acuh hingga dia benar-benar menghilang sejenak dari pandanganku. Aku tidak menabung sama sekali saat ia pergi. Ketika aku tertidur di malam hari aku memimpikannya tenggelam di samudra biru, aku susul menyelam ke dalam laut. Sosoknya tak terlihat, mungkin telah menyatu dengan pekatnya dasar samudra. Aku juga melihatnya terjebak badai dan tertimbun di gurun pasir. Aku gali pasir itu. Tetapi sosoknya telah menyatu dengan tanah. Benar-benar lenyap bersama tabungan dan investasiku. Seketika aku terbangun, bulir keringat jagung mengalir di pelipis, tubuhku menggigil.

Ternyata sejak tadi ada yang sedang menepuk-nepuk pipiku agar aku terbangun dari mimpi buruk. Begitu sadar siapa dia, aku genggam ia erat-erat, tak kubiarkan pergi. Sahabatku bilang ia tak pernah pergi, masih di tempat biasa ia berada, hanya aku yang mengacuhkannya. Aku sadar bagaimana mungkin aku bertahan tanpa dia di dekatku.
Baiklah kami memang sahabat. Aku membutuhkannya, aku akui itu.

Sampai sekarang, aku masih belum memahami betapa besar kepedulian kedua sahabatku itu padaku. Tapi simak ini baik-baik, aku pernah menguping percakapan mereka berdua. Sahabatku yang satu berkata,
"Tugasku sampai di sini. Selanjutnya aku serahkan ia padamu.",
"Semua tergantung dirinya",
"Ya, kau benar..."

*---*

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.