Menuju Cita [1] Puzzle Sakura

Bismillah,

2012,
"Kak Axx KP di Jepang lho!" celetuk salah seorang temanku.
"Waa,.." Aku pun ingin ke negri itu. Semoga!. Aku berbisik pada hati.

Februari 2013,
"Ibu..." senang sekali rasanya bertemu sosok yang bersahaja itu. Beliau tampak sedang memutar pandangan mencari sosokku yang berjalan mendekat. Setelah berputar 90 derajat arah jarum jam, barulah beliau menemukanku.
"Apa kabar Mi? Gimana kuliahnya"
"Alhamdulillah, baik Bu,"
"Adek-adeknya mau ke Jepang lho? Mau ikut?" Ya, beliau tahu benar aku ingin ke sana. Tentu aku ingin.
"Beberapa hari yang lalu ada publikasi internship di sana Bu, Ami mau mengajukan proposal. Doakan ya Bu,"
"Oh ya? Apa nama universitasnya?"
Aku berpikir, "Hmm, JAIST kayaknya Bu," Jawabku ragu. Ah, saat itu aku salah menyebut N menjadi J. Pikunku kumat. Aku tidak benar-benar ingat nama kota tempat universitas tersebut berada. Aku bahkan sama sekali tidak tahu ada universitas bernama sama dengan celetukanku. Hanya saja, JA di depan sepertinya singkatan Japan, pikirku. Maafkan aku yang pikun ini Bu, jadi salah memberikan informasi.
Setelah pertemuan itu, aku pun berpikir sejenak. Ide-ideku sudah kukumpulkan sejak lima tahun lalu, ketika aku masih 2 KMI (setara 2 SMA). Merangkai kata untuk menjadikan proposal tidak begitu sulit. Akan tetapi, timbul pertanyaan, Apa aku boleh mengajukan diri? Keraguanku lebih besar dari pada keyakinan. Bukan, bukan begitu. Aku hanya tidak percaya pada diriku sendiri. Bila dibandingkan teman-temanku yang mampu berceloteh dengan bahasa orang Amerika sana, layaknya bahasa ibu mereka sendiri, aku masih harus banyak belajar untuk itu. Ah, aku masih tidak percaya saja pada diriku.
Akhirnya, keraguan itu yang membawaku mundur perlahan. Mungkin bukan saat ini, batinku

Juli 2013,
"Daftar yuk! Coba aja dulu, nothing to lose" Pembicaraan di gang sempit, ketika hendak menuju tempat tinggal masing-masing setelah seharian di depan laptop itu, membuatku membulatkan tekad. Entah angin dari mana itu. Beberapa hari sebelumnya, sebuah publikasi internship di universitas bernama JAIST muncul di milis. Tersedia beberapa pilihan topik beserta profesor pembimbingnya. Aku memilih salah satu. Topik yang aku harap dapat menuntunku menemukan lebih banyak clue tentang tekadku.
Akhirnya aku mengirimkan email kepada profesor penanggung jawab internship ini. Kuceritakan aku ingin membuat aplikasi yang terkait dengan speech understanding untuk aplikasi buatanku, tentang Al-Quran. Ya, kuceritakan saja semua tentang apa yang aku pikirkan. Aku diminta mengisi form awal dan memberikan informasi tentang topik research, supervisor, periode, dan tujuan. Aku diminta menunggu pengumuman minggu depan.
Lebih beberapa hari setelah seminggu aku diminta untuk mengirimkan scan paspor. Benar saja, mana terpikir olehku untuk ke luar negri dalam waktu dekat. Jadi tentu saja itu artinya aku tidak punya barang yang diminta. Aku meminta waktu untuk membuatnya. Aku masih ingat ketika itu siang terik di bulan Ramadhan, hari Jumat.
Akhirnya paspor di tangan. Oke, kami tidak menggunakan scanner di rumah. Tapi selalu ada jalan. Mama menemaniku ke kantor beliau untuk scanning paspor. Akhirnya file tersebut aku dapatkan dan segera kukirim ke Pak Professor. Aku bersyukur ada di rumah saat itu. Ada Mama sebagai teman berdiskusi dan selalu mendukungku. Selang beberapa hari, aku mulai terpikir sesuatu. Sebagai mahasantri yang menuntut ilmu di pondok 6 tahun, salah satu yang aku pikirkan adalah bagaimana dengan hukum safar jauh seorang perempuan tanpa mahram dan saat ini hukum itu yang harus aku jalankan, mana mungkin Mama atau Papa ikut pergi bersamaku dari awal hingga akhir research? Tawakal, aku beristikharah berkali-kali.  Setelah itu, aku menerima balasan penerimaanku. Allahuakbar! Aku diterima. Aku pikir ini jawaban Allah atas istikharahku. Dan yang berulang kali terbesit di pikiranku adalah, "ini hak Al-Quran!".
Ada sebuah peer, sebetulnya ada banyak peer. Tapi dalam waktu dekat ini, tugasku adalah menyakinkan Papa untuk mengizinkan aku pergi. Persis seperti tiga tahun lalu ketika aku meminta izin untuk kuliah di ITB. Sebagai anak gadis yang merantau sejak tamat SD wajar jika Papa berat melepasku. Apalagi sekarang aku akan keluar. Bagaimana keselamatanku, tentu itu yang beliau pikirkan. Akhirnya, entah karena memang hati Papa lembut atau diplomasiku yang bagus B-) Beliau meng-iya-kan.


Agustus 2013,
Peer lagi di awal bulan Agustus, di penghujung Ramadhan (padahal aku ingin melanjutkan cerpen "Aku dan Ramadhan" saat itu. Tapi apa daya. Afwan >_<), KTPku KTP Padang. Itu artinya aku harus ke Medan untuk mengurus visa sementara sebentar lagi aku harus kembali ke Bandung, mengikuti kuliah.
Peer lagi, setelah seminggu lebaran aku telah memesan tiket mengunjungi kakakku di pulau terdekat di Indonesia ke Singapore. Ya, aku di Batam saat itu. Saat sedang membantuk kakakku menyetrika pakaian (Ya karena aku "menganggur" sementara beliau sibuk akhirnya aku dipekerjakan dan diberi imbalan makan gratis, huh! Tapi dari pada tidur-tiduran tentu membereskan rumah mencuci dan lain-lain lebih baik, ih, ini kemana-mana~.~) TU IF meneleponku bahwa aku harus datang secepatnya ke Bandung. Dan, hari itu 15 Agustus. Marked!
Peer selanjutnya, tiket belum pasti, visa belum jadi, kuliah semester 7 bagaimana ini, dokumen ada yang salah lagi, hati wara wiri~~
Bla bla bla, diplomasi lagi ke dosen-dosen, bolak balik Bandung-Jakarta pergi pulang di hari yang sama, ke kedubes hanya untuk mengajukan visa dan memberikan berbagai dokumen terkait. Ternyata pas visa diambil harinya salah. Jadi harus kembali lagi ke kedubes. Dan saat menunggu giliran nomor antrian dipanggil seorang Bapak yang ingin memperpanjang visanya, mengatakan, "Untuk urusan begini kuncinya memang satu mbak, dan itu yang kita sebagai muslim miliki, bersabar dan bersyukur", Tepat sekali, itulah yang kupikirkan. Terima kasih telah mengingatkanku Pak! :)
Lusanya, aku telah duduk manis di pesawat besar yang terbang menuju Incheon. Aku transit di sana untuk ke Komatsu.

Kejadiannya begitu cepat dalam sebulan. Tanggal 9 Oktober itu aku menapakkan kaki di tiga negara, Dari Indonesia aku ke Jepang dan transit di Korea, I-J-K- selanjutnya L? London kah? Allahua'lam :-)


Conclusion
1. Tinggalkan keraguan, Allah itu prasangka hambanya
2. Apa apa yang engkau tidak mampu memutuskan beristikharahlah
3. faidza 'adzamta fatawakkal 'alallah
4. Idza shadaqal 'azmu wadhaha assabiil
#kelilingDunia

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.