Hijab itu Memperbaiki
Bismillah,
Maka, perkenankanlah aku bercerita kali ini. Cerita tentang kesan pertama yang kualami ketika aku benar-benar menghadapi dunia.
Ya inilah dunia.
Aku bertemu dengannya, saat jam makan siang. Rambut kuningnya cukuplah menceritakan pada seluruh orang yang hadir di ruangan itu bahwa ia bukan bagian Asia, bahkan irisan pun tidak. Ia asing terutama bagiku. Aku asing terutama baginya. Saat itu ada perkumpulan kecil-kecilan, hm... Professor yang mengundangku menyebutnya party, yang dihadiri oleh sekitar 20 orang. Mereka adalah orang-orang sepertiku ditambah member asli dari Lab tempat kami berkumpul. Satu per satu pendatang baru diperkenalkan dan mengenalkan diri termasuk aku. Tapi aku tak banyak omong saat itu. Bibirku perih akibat sariawan yang kian hari kian membesar. Jadi aku hanya tersenyum dan mengangguk-angguk ketika Professor membacakan namaku.
Seperti yang bisa ditebak, di sana telah tersaji sandwich sederhana dengan bagian terpisah antara yang boleh dan tidak boleh aku makan. Ada juga minuman yang boleh dan tidak boleh aku minum. Tapi aku memilih minum saja. Akibat datang tepat waktu tidak ada kursi lagi untukku. Lagi pula aku memilih untuk makan di asrama saat itu. Makan dengan dengan martabak telor wortel buatanku, bagiku lebih enak dibanding apa yang ada di meja ruangan ini. Masing-masing orang di ruangan itu sibuk. Aku pun sibuk berkenalan dengan teman-teman baru. Beberapa orang dari mereka berasal dari Negri Jiran. Jadilah kami saling bercerita panjang lebar tentang apapun yang ingin kami ceritakan. Mungkin lebih tepatnya aku disebut pendengar setia. Kurang lebih 30 menit setelah kami bercerita, ruangan sudah mulai sepi. Aku dan teman baruku juga memutuskan untuk beranjak pulang ke asrama. Namun sebelum itu, ternyata seseorang berambut kuning menghampiri kami berdua. Dia menyapa teman baruku dan hanya terseyum tipis padaku. Dari percakapan mereka aku tahu dia adalah Ph.D student di Daigakuen ini. Ia menyeberang dari Eropa sana kemari.
Setelah berbincang dengan teman baruku barulah ia menyapaku. Sambil tersenyum dia berkata sulit untuk melihatku karena wajahku hanya terlihat selingkaran kedua jarinya, ia memperagakan dengan menyatukan ujung-ujung jemarinya dan menempelkan tangannya ke wajah, tidak lupa ia ucapkan "I'm sorry" tetap sambil tersenyum. Aku pun membalas tersenyum. Ya memang begini aku biasa terlihat dan hanya dengan begini aku boleh dilihat. Berhadapan dengan orang "sepertiku" adalah kali kedua atau ketiga baginya. "Sebagian orang bahkan hanya memperlihatkan matanya", ucapnya. Lagi sambil merapatkan kedua jemari tangannya ke bagian mata. "Aku takut jika aku menyapa mereka, mereka akan mengejarku dan memarahiku". Kalian tahu ekspresi apa yang kuperlihatkan padanya? seulas senyum dengan sebelah ujung bibir yang mencuat. Aku tetap tersenyum, tapi miris. Kukatakan bahwa kami tidak akan menyakiti kalian. Kami berinteraksi secara baik dan menghormati orang lain seperti kau menghormati orang lain pula.
Ya. Saat itu aku pikir aku dapat merasakan pikiran takut dari ucapannya. Setakut itukah kau dengan kaumku? Apakah kau kira kami menyembunyikan belati dalam hijab-hijab kami? Kau tidak tahu saja bagi agama kami apa yang kami sembunyikan ini bukan sekedar intan, mutiara, zamrud, tapi lebih berharga dari itu. Ini adalah perhiasan yang dihormati umat kami. Aku harap kau mengerti. Aku bergumam hanya dalam hati. Obrolan itupun berganti topik setelah aku meyakinkannya dan dia terlihat benar-benar yakin bahwa 'kita' adalah sama dalam konteks social (tentu saja karna fitrah kita sama dari Rabb yang Esa), tapi tidak dengan akidah (Semoga Allah memberimu dan memberi kita semua hidayah).
Ini adalah kali pertama aku berhadapan dengan orang-orang sepertinya. Ini peristiwa baru bagiku. Menyaksikan dan berhadapan langsung dengan diriku sendiri betapa orang-orang luar sana tidak tahu menahu tentang risalah Rasul. Tentang keindahan dan kemuliaan agamaku. Mereka hanya tahu terorisme dan segala ancaman yang mungkin disebabkan jika bergaul dengan orang-orang 'kami' dan dengan "lugu"nya mereka percaya semua fitnah tersebut. Siapa yang salah? Ini bukan perbincangan tentang menghakimi pihak yang benar dan salah. Hal yang pasti adalah Allah memberikan hidayah pada mereka yang Allah kehendaki. Jika suatu hari kita memutuskan untuk menjemput hidayah dan Allah berikan itu, tidak ada salahnya untuk berbagi kebaikan pada yang lain. Maksudku, hijab yang aku kenakan saat ini merupakan bentuk hidayah Allah yang telah aku jemput 9 tahun yang lalu. Aku memperbaiki diri dengan ini. Sampai sekarang pun masih kugunakan untuk memperbaiki. Kini ketika suatu pernyataan sederhana terlontar kepadaku karena hijab, aku pun berusaha memperbaiki pernyataan yang sebelumnya sedikit berbelok menjadi lebih lurus.
Hijab itu memperbaiki, lirihku. Bukan menunggu telah baik baru berhijab, tapi dengan hijab itu biarkan ia memperbaiki diri.
Ini hanyalah sepenggal hikmah yang kupetik dari perjalanan mimpi mentari pagi. Ini bukan akhir cerita yang akan menguap dalam hitungan detik. Karena ini adalah kisahku, kisahmu, dan kisah muslim muslimah seluruh dunia dengan serangkaian episode bermakna berikutnya.
Salam hangat dari Negri Matahari, Negri Sakura,
Mentari Pagi
Maka, perkenankanlah aku bercerita kali ini. Cerita tentang kesan pertama yang kualami ketika aku benar-benar menghadapi dunia.
Ya inilah dunia.
Aku bertemu dengannya, saat jam makan siang. Rambut kuningnya cukuplah menceritakan pada seluruh orang yang hadir di ruangan itu bahwa ia bukan bagian Asia, bahkan irisan pun tidak. Ia asing terutama bagiku. Aku asing terutama baginya. Saat itu ada perkumpulan kecil-kecilan, hm... Professor yang mengundangku menyebutnya party, yang dihadiri oleh sekitar 20 orang. Mereka adalah orang-orang sepertiku ditambah member asli dari Lab tempat kami berkumpul. Satu per satu pendatang baru diperkenalkan dan mengenalkan diri termasuk aku. Tapi aku tak banyak omong saat itu. Bibirku perih akibat sariawan yang kian hari kian membesar. Jadi aku hanya tersenyum dan mengangguk-angguk ketika Professor membacakan namaku.
Seperti yang bisa ditebak, di sana telah tersaji sandwich sederhana dengan bagian terpisah antara yang boleh dan tidak boleh aku makan. Ada juga minuman yang boleh dan tidak boleh aku minum. Tapi aku memilih minum saja. Akibat datang tepat waktu tidak ada kursi lagi untukku. Lagi pula aku memilih untuk makan di asrama saat itu. Makan dengan dengan martabak telor wortel buatanku, bagiku lebih enak dibanding apa yang ada di meja ruangan ini. Masing-masing orang di ruangan itu sibuk. Aku pun sibuk berkenalan dengan teman-teman baru. Beberapa orang dari mereka berasal dari Negri Jiran. Jadilah kami saling bercerita panjang lebar tentang apapun yang ingin kami ceritakan. Mungkin lebih tepatnya aku disebut pendengar setia. Kurang lebih 30 menit setelah kami bercerita, ruangan sudah mulai sepi. Aku dan teman baruku juga memutuskan untuk beranjak pulang ke asrama. Namun sebelum itu, ternyata seseorang berambut kuning menghampiri kami berdua. Dia menyapa teman baruku dan hanya terseyum tipis padaku. Dari percakapan mereka aku tahu dia adalah Ph.D student di Daigakuen ini. Ia menyeberang dari Eropa sana kemari.
Setelah berbincang dengan teman baruku barulah ia menyapaku. Sambil tersenyum dia berkata sulit untuk melihatku karena wajahku hanya terlihat selingkaran kedua jarinya, ia memperagakan dengan menyatukan ujung-ujung jemarinya dan menempelkan tangannya ke wajah, tidak lupa ia ucapkan "I'm sorry" tetap sambil tersenyum. Aku pun membalas tersenyum. Ya memang begini aku biasa terlihat dan hanya dengan begini aku boleh dilihat. Berhadapan dengan orang "sepertiku" adalah kali kedua atau ketiga baginya. "Sebagian orang bahkan hanya memperlihatkan matanya", ucapnya. Lagi sambil merapatkan kedua jemari tangannya ke bagian mata. "Aku takut jika aku menyapa mereka, mereka akan mengejarku dan memarahiku". Kalian tahu ekspresi apa yang kuperlihatkan padanya? seulas senyum dengan sebelah ujung bibir yang mencuat. Aku tetap tersenyum, tapi miris. Kukatakan bahwa kami tidak akan menyakiti kalian. Kami berinteraksi secara baik dan menghormati orang lain seperti kau menghormati orang lain pula.
Ya. Saat itu aku pikir aku dapat merasakan pikiran takut dari ucapannya. Setakut itukah kau dengan kaumku? Apakah kau kira kami menyembunyikan belati dalam hijab-hijab kami? Kau tidak tahu saja bagi agama kami apa yang kami sembunyikan ini bukan sekedar intan, mutiara, zamrud, tapi lebih berharga dari itu. Ini adalah perhiasan yang dihormati umat kami. Aku harap kau mengerti. Aku bergumam hanya dalam hati. Obrolan itupun berganti topik setelah aku meyakinkannya dan dia terlihat benar-benar yakin bahwa 'kita' adalah sama dalam konteks social (tentu saja karna fitrah kita sama dari Rabb yang Esa), tapi tidak dengan akidah (Semoga Allah memberimu dan memberi kita semua hidayah).
Ini adalah kali pertama aku berhadapan dengan orang-orang sepertinya. Ini peristiwa baru bagiku. Menyaksikan dan berhadapan langsung dengan diriku sendiri betapa orang-orang luar sana tidak tahu menahu tentang risalah Rasul. Tentang keindahan dan kemuliaan agamaku. Mereka hanya tahu terorisme dan segala ancaman yang mungkin disebabkan jika bergaul dengan orang-orang 'kami' dan dengan "lugu"nya mereka percaya semua fitnah tersebut. Siapa yang salah? Ini bukan perbincangan tentang menghakimi pihak yang benar dan salah. Hal yang pasti adalah Allah memberikan hidayah pada mereka yang Allah kehendaki. Jika suatu hari kita memutuskan untuk menjemput hidayah dan Allah berikan itu, tidak ada salahnya untuk berbagi kebaikan pada yang lain. Maksudku, hijab yang aku kenakan saat ini merupakan bentuk hidayah Allah yang telah aku jemput 9 tahun yang lalu. Aku memperbaiki diri dengan ini. Sampai sekarang pun masih kugunakan untuk memperbaiki. Kini ketika suatu pernyataan sederhana terlontar kepadaku karena hijab, aku pun berusaha memperbaiki pernyataan yang sebelumnya sedikit berbelok menjadi lebih lurus.
Hijab itu memperbaiki, lirihku. Bukan menunggu telah baik baru berhijab, tapi dengan hijab itu biarkan ia memperbaiki diri.
Ini hanyalah sepenggal hikmah yang kupetik dari perjalanan mimpi mentari pagi. Ini bukan akhir cerita yang akan menguap dalam hitungan detik. Karena ini adalah kisahku, kisahmu, dan kisah muslim muslimah seluruh dunia dengan serangkaian episode bermakna berikutnya.
Salam hangat dari Negri Matahari, Negri Sakura,
Mentari Pagi
Hijab itu Memperbaiki
Reviewed by Kisah Fajr
on
September 23, 2013
Rating: 5