Orientasi
Bismillah...
Sejak masuk kampus "lagi", entah bagaimana ceritanya saya sering dititipin adik. Entah itu oleh kenalan, atau ada adik random nanya-nanya di kampus dan sekitarnya (baca: Salman) trus sampai sekarang malah sering bertukar cerita.
Berdasarkan survei pribadi, obrolan "anak baru" kampus ini tidak akan lepas dari nilai. Ng, atau mungkin di seluruh kampus di Indonesia? Di belahan dunia juga barangkali.
Pun saya, tidak menafikkannya.
Sekian banyak ruang di kampus, kita bertemu orang-orang yang nilainya bagus tapi merasa belum cukup puas dengan pencapaian itu. Pun tak terlepas dari Salman gengs. Teman-teman yang setiap hari shalat dan tidak alfa berdoa supaya nilainya bagus.
Saya bukan kelompok orang yang pertama. Benar-benar negasi statement (p ^ q), haha
Tetapi yang kedua mungkin saja.
Mari kita pandang dari dua sisi.
Menjadi tidak puas atas pencapaian yang didapat tentu saja wajar, ketika kita mengukur kemampuan kita mampu mengusahakan yang lebih. Lagi pula hal tersebut adalah wujud seorang yang memiliki keinginan yang kuat dan semangat mewujudkan target yang dipasang. Pada momen-momen kecewa dan ketidakpuasan tadi, dapat menimbulkan tekad memperbaiki diri. Namun di lain sisi, segala bentuk statement yang keluar dari ketidakpuasan ini tanpa dibarengi hamdalah, maaf saya simpulkan sebagai bentuk ketidaksyukuran.
Permasalahannya begini. Banyak teman-teman yang berusaha banget menekan kekecewaan berlebih dengan kesyukuran dan tekad untuk belajar lebih baik lagi. Beberapa waktu kemudian, si teman ini bertemu dengan sosok-sosok yang grade oriented, dan jadi berpikir "Ah, dia saja galau aku lebih berhak galau dong kalo gitu". Lalu kekecewaan dan penyesalan berlebih yang sudah dikubur itu bangkit dan gentayangan lagi. Ckck
Saya pernah merasakannya dan saya pun diingatkan. Lewat tulisan ini, saya sekedar ingin mengingat lagi pengingat itu
Tapi taqwa oriented.
Kalimat ini cukuplah kiranya untuk mengevaluasi lagi orientasi kita dalam menuntut ilmu. Dibanding grade oriented, karakter learning oriented lebih diperlukan karena tugas selanjutnya adalah bagaimana setiap momen menuntut ilmu, bertambahnya ilmu dan pemahaman baru itu juga menambah ketaqwaan kita. Menjadi hikmah yang penuh berkah. "Seeeee-duniawi" apapun ilmu itu "dalam pandangan kita". Padahal ilmu punya Pemiliknya. Lalu mengapa kita membatasi ilmu seperti ia sulit dihubungkan bahkan tak pernah bisa sampai pada Pemiliknya, Allah azza wa jalla.
Sampai di sini, semoga kekecewaan tadi menguap dan semangat kembali berkobar.
Eh tapi ada pertanyaan lagi. Kenapa mereka pintar dan nilainya bagus, sementara kita yang "padahal" qiyam dan mengagungkan asma Allah setiap hari ini tidak lebih baik?
Agar orang-orang yang beriman semakin tunduk hatinya dan dihiasi ketawakalan pada Rabb-mya.
Lagi pula, kata siapa kita tidak lebih baik?
Kalau dalam machine learning, penentuan keputusan itu belum tentu dari satu parameter/atribut suatu data saja. Hasil klasifikasinya bisa tidak tepat. Ada banyak atribut yang menentukan, dan "keunggulan dunia" hanya satu dari sekian banyak atribut keukhrawian dalam mengklasifikasikan seseorang itu baik dan selamat kehidupannya.
Allahu a'lam
Sejak masuk kampus "lagi", entah bagaimana ceritanya saya sering dititipin adik. Entah itu oleh kenalan, atau ada adik random nanya-nanya di kampus dan sekitarnya (baca: Salman) trus sampai sekarang malah sering bertukar cerita.
Berdasarkan survei pribadi, obrolan "anak baru" kampus ini tidak akan lepas dari nilai. Ng, atau mungkin di seluruh kampus di Indonesia? Di belahan dunia juga barangkali.
Pun saya, tidak menafikkannya.
Sekian banyak ruang di kampus, kita bertemu orang-orang yang nilainya bagus tapi merasa belum cukup puas dengan pencapaian itu. Pun tak terlepas dari Salman gengs. Teman-teman yang setiap hari shalat dan tidak alfa berdoa supaya nilainya bagus.
Saya bukan kelompok orang yang pertama. Benar-benar negasi statement (p ^ q), haha
Tetapi yang kedua mungkin saja.
Mari kita pandang dari dua sisi.
Menjadi tidak puas atas pencapaian yang didapat tentu saja wajar, ketika kita mengukur kemampuan kita mampu mengusahakan yang lebih. Lagi pula hal tersebut adalah wujud seorang yang memiliki keinginan yang kuat dan semangat mewujudkan target yang dipasang. Pada momen-momen kecewa dan ketidakpuasan tadi, dapat menimbulkan tekad memperbaiki diri. Namun di lain sisi, segala bentuk statement yang keluar dari ketidakpuasan ini tanpa dibarengi hamdalah, maaf saya simpulkan sebagai bentuk ketidaksyukuran.
Permasalahannya begini. Banyak teman-teman yang berusaha banget menekan kekecewaan berlebih dengan kesyukuran dan tekad untuk belajar lebih baik lagi. Beberapa waktu kemudian, si teman ini bertemu dengan sosok-sosok yang grade oriented, dan jadi berpikir "Ah, dia saja galau aku lebih berhak galau dong kalo gitu". Lalu kekecewaan dan penyesalan berlebih yang sudah dikubur itu bangkit dan gentayangan lagi. Ckck
Saya pernah merasakannya dan saya pun diingatkan. Lewat tulisan ini, saya sekedar ingin mengingat lagi pengingat itu
إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ اللَّهِ أَتقاكُم
Allah tidak grade oriented kok, dalam memandang hamba-Nya.Tapi taqwa oriented.
Kalimat ini cukuplah kiranya untuk mengevaluasi lagi orientasi kita dalam menuntut ilmu. Dibanding grade oriented, karakter learning oriented lebih diperlukan karena tugas selanjutnya adalah bagaimana setiap momen menuntut ilmu, bertambahnya ilmu dan pemahaman baru itu juga menambah ketaqwaan kita. Menjadi hikmah yang penuh berkah. "Seeeee-duniawi" apapun ilmu itu "dalam pandangan kita". Padahal ilmu punya Pemiliknya. Lalu mengapa kita membatasi ilmu seperti ia sulit dihubungkan bahkan tak pernah bisa sampai pada Pemiliknya, Allah azza wa jalla.
Sampai di sini, semoga kekecewaan tadi menguap dan semangat kembali berkobar.
Eh tapi ada pertanyaan lagi. Kenapa mereka pintar dan nilainya bagus, sementara kita yang "padahal" qiyam dan mengagungkan asma Allah setiap hari ini tidak lebih baik?
Agar orang-orang yang beriman semakin tunduk hatinya dan dihiasi ketawakalan pada Rabb-mya.
Lagi pula, kata siapa kita tidak lebih baik?
Kalau dalam machine learning, penentuan keputusan itu belum tentu dari satu parameter/atribut suatu data saja. Hasil klasifikasinya bisa tidak tepat. Ada banyak atribut yang menentukan, dan "keunggulan dunia" hanya satu dari sekian banyak atribut keukhrawian dalam mengklasifikasikan seseorang itu baik dan selamat kehidupannya.
Allahu a'lam
Tidak ada komentar: