Berpaling
Bismillah,
Tadi sore,
Saya dalam perjalanan pulang, setelah mengerjakan tugas kelompok di suatu tempat.
Berhubung tempatnya dekat dari kosan saya pergi-pulang dengan jalan kaki dan tidak bawa apa-apa di tas selain laptop dkk (charger, mouse) dan handphone (yang alhamdulillah kali ini ngga lupa).
Saya berpapasan dengan seorang Ibu, yang menurut tebakan saya berusia 35-40 tahun bersama anaknya, lagi-lagi menurut tebakan saya 2-3 tahun umurnya. Beliau tampak terburu-buru, dari jauh jarak 3 meter, ibu itu telah memanggil saya, "Neng!"
"Neng! Gereja Dago di mana ya?" di bawah matanya terlihat berkilau karena keringat. Seperti terdesak.
"Ini Bu, di depan tinggal diterusin jalannya", kebetulan memang tinggal beberapa langkah saja menuju lokasi yang ditanya
Tapi Ibu yang bertanya ini mengenakan jilbab, baju kaos selutut, dan celana. Tentu saya lanjut bertanya,
"Janjian Bu?" Saya hendak melangkah terus ke arah yang berlawanan, lanjut pulang
"Engga Neng, ini saya mau dibaptis", ucap beliau sambil tersenyum tapi ada yang janggal
Jawaban ini seketika menghentikan langkah saya. Saya kaget dan entahlah
"Ibu mau pindah agama?" Saya berusaha se-biasa mungkin menyembunyikan kekhawatiran saya. Bermaksud mencari tahu apakah aktivitas itu didasari oleh kesadaran atau tidak. Saya harus melakukan sesuatu
"Ini, Ibu ditelfon dari Gereja barusan. Ditunggu ceunah. Mau dibantu biaya pengobatan", beliau masih berusaha tersenyum
"Ibu sakit apa?"
"Luka sisa operasi melahirkan Neng, jadi mau diobatin lagi. Kemarin ditawarin sama persatuan mahasiswa k untuk dibantu. Syaratnya harus percaya dulu sama Tuhan Yesus. Ini sekarang mau ke sana. Nuhun ya Neng.."
"Kenapa Bu, Jangan Bu?!" Saya mulai kusut sedikit memohon. Mencegah, apapun. Bahkan saat menulis di sini, ubun-ubun hingga ulu hati saya panas, tidak nyaman mengingatnya.
"Allah maha tahu Neng...", Mata Ibu mulai berkaca-kaca
"Uangnya sudah Ibu terima Bu? Butuhnya berapa Bu?"
"Belum Neng. Ini mau diambil tapi harus dibaptis dulu. Lima ratus ribu Neng.."
Sungguh! Pikiran saya benar-benar jadi bertumpuk tak karuan. Lima ratus ribu, apakah muslim terlalu miskin untuk membantu beban saudaranya?!
"Ibu, jangan. Ibu ke saya aja. In sya a Allah saya usahakan. Hayu Bu". Kalimat yang saya sendiri tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Kenapa saya berhadapan dengan cerita ini saat saya tidak berpunya. Jangan bicara soal simpanan, karena sama saja. Tapi, pokoknya aktivitas itu tidak boleh terjadi!
"Jangan Neng, Neng kan mahasiswa. Nanti buat uang kuliah Eneng gimana?"
"Ngga pa pa Bu. Bisa kita usahakan. Pokoknya Ibu jangan ke sana"
"Neng, Allah maha tahu kan ya hati kita. Biar Ibu ke sana, ibu butuh buat berobat Neng",
Salman! Saya ingat Salman.
"Ibu, ikut saya saja. Kita ke Salman. Di sana Ibu pasti bisa dibantu. Ayo Bu"
"Nyusahin Eneng"
"Engga Bu, saya temenin ke Salman. Ibu ngga perlu ke sana. Uangnya kan belum diambil juga Bu", satu-dua langkah Ibu ikut berjalan bersama saya. Tapi langkah beliau terhenti.
"Neng, Ibu sudah berdoa sama Allah, semoga di jalan mau ke sini ada ujian sehingga Ibu ngga jadi ke sini. Tapi Ibu juga butuh sekali buat berobat. Allah Maha Tahu kan ya Neng, Ibu terpaksa, hati Ibu ngga niat ke sana. Ya, Neng. Ibu ke sana dulu ya." Beliau berbalik ke arah gereja yang semula ditujunya.
Saya tidak bisa memaksa lebih. Entahlah.
Hal yang paling menyayat hati saya adalah, ketika saya tanpa sadar mengangkat tangan. Masih ingin berusaha mencegah. Adik kecil, anak Ibu itu melambaikan tangannya pada saya. Tersenyum polos, seolah bahagia bertemu saya. Saya yang nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa. Saya yang terlalu lemah mencegah saudaranya berpaling. Saya...
Saya tidak melihat Ibu memasuki tujuannya. Kalau memang ini nyata, terlalu pedih rasanya.
---
Sampai sekarang, saat menulis ini, saya benar-benar mengabaikan kemungkinan penipuan. Kalau penipuan, beliau akan memilih ikut dengan saya ketika saya menawarkan bantuan pertama kali, sebelum mengajak beliau ke Salman kan? Bahkan saya betul-betul sadar tindakan saya. Saya tidak mungkin bisa menceritakan ulang kalau selama kejadian ini pikiran saya tidak di dalam saya. Tapi ini betul-betul menyayat hati jika niat berpaling itu sampai terjadi.
Tidaklah terjadi segala sesuatu di bumi ini, melainkan atas kehendak-Nya.
Semoga Allah meringankan segala urusan setiap hamba
Semoga Allah memampukan kita dalam meringankan beban saudara
Semoga Allah mengistiqomahkan kita di jalan-Nya
Semoga Allah menguatkan keyakinan kita bahwa rezeki itu benar-benar Allah yang kuasa
Semoga Allah mengutuhkan ketawakalan kita hanya pada-Nya
Tadi sore,
Saya dalam perjalanan pulang, setelah mengerjakan tugas kelompok di suatu tempat.
Berhubung tempatnya dekat dari kosan saya pergi-pulang dengan jalan kaki dan tidak bawa apa-apa di tas selain laptop dkk (charger, mouse) dan handphone (yang alhamdulillah kali ini ngga lupa).
Saya berpapasan dengan seorang Ibu, yang menurut tebakan saya berusia 35-40 tahun bersama anaknya, lagi-lagi menurut tebakan saya 2-3 tahun umurnya. Beliau tampak terburu-buru, dari jauh jarak 3 meter, ibu itu telah memanggil saya, "Neng!"
"Neng! Gereja Dago di mana ya?" di bawah matanya terlihat berkilau karena keringat. Seperti terdesak.
"Ini Bu, di depan tinggal diterusin jalannya", kebetulan memang tinggal beberapa langkah saja menuju lokasi yang ditanya
Tapi Ibu yang bertanya ini mengenakan jilbab, baju kaos selutut, dan celana. Tentu saya lanjut bertanya,
"Janjian Bu?" Saya hendak melangkah terus ke arah yang berlawanan, lanjut pulang
"Engga Neng, ini saya mau dibaptis", ucap beliau sambil tersenyum tapi ada yang janggal
Jawaban ini seketika menghentikan langkah saya. Saya kaget dan entahlah
"Ibu mau pindah agama?" Saya berusaha se-biasa mungkin menyembunyikan kekhawatiran saya. Bermaksud mencari tahu apakah aktivitas itu didasari oleh kesadaran atau tidak. Saya harus melakukan sesuatu
"Ini, Ibu ditelfon dari Gereja barusan. Ditunggu ceunah. Mau dibantu biaya pengobatan", beliau masih berusaha tersenyum
"Ibu sakit apa?"
"Luka sisa operasi melahirkan Neng, jadi mau diobatin lagi. Kemarin ditawarin sama persatuan mahasiswa k untuk dibantu. Syaratnya harus percaya dulu sama Tuhan Yesus. Ini sekarang mau ke sana. Nuhun ya Neng.."
"Kenapa Bu, Jangan Bu?!" Saya mulai kusut sedikit memohon. Mencegah, apapun. Bahkan saat menulis di sini, ubun-ubun hingga ulu hati saya panas, tidak nyaman mengingatnya.
"Allah maha tahu Neng...", Mata Ibu mulai berkaca-kaca
"Uangnya sudah Ibu terima Bu? Butuhnya berapa Bu?"
"Belum Neng. Ini mau diambil tapi harus dibaptis dulu. Lima ratus ribu Neng.."
Sungguh! Pikiran saya benar-benar jadi bertumpuk tak karuan. Lima ratus ribu, apakah muslim terlalu miskin untuk membantu beban saudaranya?!
"Ibu, jangan. Ibu ke saya aja. In sya a Allah saya usahakan. Hayu Bu". Kalimat yang saya sendiri tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Kenapa saya berhadapan dengan cerita ini saat saya tidak berpunya. Jangan bicara soal simpanan, karena sama saja. Tapi, pokoknya aktivitas itu tidak boleh terjadi!
"Jangan Neng, Neng kan mahasiswa. Nanti buat uang kuliah Eneng gimana?"
"Ngga pa pa Bu. Bisa kita usahakan. Pokoknya Ibu jangan ke sana"
"Neng, Allah maha tahu kan ya hati kita. Biar Ibu ke sana, ibu butuh buat berobat Neng",
Salman! Saya ingat Salman.
"Ibu, ikut saya saja. Kita ke Salman. Di sana Ibu pasti bisa dibantu. Ayo Bu"
"Nyusahin Eneng"
"Engga Bu, saya temenin ke Salman. Ibu ngga perlu ke sana. Uangnya kan belum diambil juga Bu", satu-dua langkah Ibu ikut berjalan bersama saya. Tapi langkah beliau terhenti.
"Neng, Ibu sudah berdoa sama Allah, semoga di jalan mau ke sini ada ujian sehingga Ibu ngga jadi ke sini. Tapi Ibu juga butuh sekali buat berobat. Allah Maha Tahu kan ya Neng, Ibu terpaksa, hati Ibu ngga niat ke sana. Ya, Neng. Ibu ke sana dulu ya." Beliau berbalik ke arah gereja yang semula ditujunya.
Saya tidak bisa memaksa lebih. Entahlah.
Hal yang paling menyayat hati saya adalah, ketika saya tanpa sadar mengangkat tangan. Masih ingin berusaha mencegah. Adik kecil, anak Ibu itu melambaikan tangannya pada saya. Tersenyum polos, seolah bahagia bertemu saya. Saya yang nyatanya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa. Saya yang terlalu lemah mencegah saudaranya berpaling. Saya...
Saya tidak melihat Ibu memasuki tujuannya. Kalau memang ini nyata, terlalu pedih rasanya.
---
Sampai sekarang, saat menulis ini, saya benar-benar mengabaikan kemungkinan penipuan. Kalau penipuan, beliau akan memilih ikut dengan saya ketika saya menawarkan bantuan pertama kali, sebelum mengajak beliau ke Salman kan? Bahkan saya betul-betul sadar tindakan saya. Saya tidak mungkin bisa menceritakan ulang kalau selama kejadian ini pikiran saya tidak di dalam saya. Tapi ini betul-betul menyayat hati jika niat berpaling itu sampai terjadi.
Tidaklah terjadi segala sesuatu di bumi ini, melainkan atas kehendak-Nya.
Semoga Allah meringankan segala urusan setiap hamba
Semoga Allah memampukan kita dalam meringankan beban saudara
Semoga Allah mengistiqomahkan kita di jalan-Nya
Semoga Allah menguatkan keyakinan kita bahwa rezeki itu benar-benar Allah yang kuasa
Semoga Allah mengutuhkan ketawakalan kita hanya pada-Nya
Berpaling
Reviewed by Kisah Fajr
on
Maret 28, 2017
Rating: 5