Vespa Bapak

Bismillah,

Hiro kecil berlari menyambut Bapak yang baru pulang dari sekolah. Ya, Bapak Hiro adalah seorang guru di sebuah sekolah negeri di Ibu kota. Sejak lulus SMA Bapak mulai mengabdikan diri untuk sekolah itu. Selesai lulus pendidikan sarjana, beliau langsung ditawari menjadi salah satu tenaga pendidik di sana. Sekarang Bapak sedang sibuk mengusahakan agar lulus seleksi CPNS yang diadakan pertengahan tahun ini

Hari itu, tawa sumringah mengembang dari bibir mungil Hiro karena Bapak membawa vespa pulang ke rumah. Bagi Hiro benda roda dua itu adalah barang baru karena biasanya Bapak berangkat ke sekolah dengan menanti elf yang melewati jalan utama desa. Bapak harus berjalan sekitar 500 meter sambil melewati pematang sawah, hutan kebun tetangga, untuk sampai ke jalan utama. Sebetulnya ada alternatif jalan lain yang dapat digunakan oleh kendaraan roda dua, namun rutenya lebih jauh untuk sampai ke jalan besar. Ah ya, belum kukatakan bahwa keluarga kecil Hiro tinggal di desa kabupaten yang berbeda dengan tempat mengajar Bapak.
Desa yang bersebelahan dengan Ibu kota, tapi tak dapat pula disebut dekat.

Walau baru bagi Hiro, vespa itu adalah benda penuh kenangan bagi Bapak. Pemilik vespa itu telah menyusul kekasihnya lebih dahulu empat belas tahun lalu ketika Bapak duduk di bangku SMP, masih terlalu muda, bahkan belum lah memudar warna biru celana seragam-kebanggaan Bapak. Bapak hidup sebatang kara sejak saat itu. Ada bibi, adik dari Umma (panggilan Bapak pada Ibunya). Namun Bapak sadar diri bahwa kehadirannya di keluarga bibi akan menambah beban tanggungan dan menumbuhkan semakin banyak uban putih di ubun-ubun wanita 40 tahun-an itu. Bapak memutuskan hidup sendiri. Ia menghabiskan hari-harinya lebih banyak di sekolah. Menjadi penjaga perpustakaan saat istirahat, membersihkan halaman, kelas, dan toilet saat pulang, serta merawat kebun rutin di akhir minggu. Upah 500 rupiah yang dikumpulkan bapak setiap minggu ternyata cukup untuk membuat celengan ayam milik Bapak sanggup membiayai sekolahnya di tingkat lanjut. Sekali tiga bulan saat panen dan pembibitan, Bapak ikut bibi mengelola sawah milik keluarga. Dari sana lah lumbung padi rumah Bapak terisi. Satu karung cukup untuk tiga bulan bagi Bapak, sambil menunggu masa panen berikutnya. Lauknya? Mudah saja, sungai di hilir punya segudang ikan jinak. Baik hati sekali ikan-ikan itu, menyerahkan diri pada Bapak walau tahu ia akan dipanggang di atas tungku perapian, dan masuk dalam perut cekung Bapak.

Begitulah Bapak menghidupi dirinya. Bapak bisa saja menjual vespa peninggalan Kakek Hiro agar langsung mendapatkan uang banyak. Tapi tidak, barang ini terlalu berharga baginya. Lewat belasan tahun, kini barulah vespa itu didapatkan Bapak kembali setelah sebelumnya digunakan oleh sepupu Bapak, anak-anak Bibi. Mereka kini telah punya mobil pribadi, jadi tidak butuh lagi vespa butut seperti punya Bapak. Jika mengetahui vespa itu menganggur Bapak akan menjemputnya lebih cepat. Sudah sejak lama Bapak bercita-cita ingin membawa Hiro jalan-jalan ke Ibu kota. Memperkenalkan pahlawan kecilnya pada kehidupan maju kota. Membuka cakrawala baru bagi Hiro agar tak tertutup hanya untuk pematang sawah, hutan kebun, maupun pancuran pinggir sungai.

Sore hari, setelah mandi, sisiran rambut rapi dan berkilau karena diberi minyak kelapa olahan asli tangan Ibuk, Bapak dan Hiro bergaya kompak dengan belah rambut di sisi kiri. Hanya saja Hiro dihiasi bedak tabur yang belepotan tak rata di wajah bulatnya. Setelah semua siap, Ibuk mengunci pintu dan memangku Hiro yang aman berada di tengah antara Bapak dan Ibuk. Mereka berangkat Sabtu Malam, saat gemerlap kota lebih benderang dari biasanya.

Malam itu Hiro tak sedetikpun melepaskan tangannya yang dikalungkan di leher Bapak. Melewati pasar kuliner ia terkagum-kagum. Melewati taman ria ia tertawa. Tapi, walau banyak melewati berbagai tempat menarik, tak terpikir oleh Hiro untuk singgah dan berhenti. Menaiki vespa yang dikendarai Bapak lebih menyenangkan. Hiro menyukai angin yang menyentuh lembut wajahnya. Jika ia turun, angin itu tidak akan ada lagi. Perjalanan malam itu diwarnai tawa renyah Hiro. Tawa yang begitu membahagiakan terdengar di telinga Bapak hingga ke samudera hatinya.

Tak bisa dihentikan, bulir air mata Bapak menetes mengenang waktu-waktu serupa masa kecilnya bersama Kakek Hiro. Bulir air mata itu diterbangkan angin hingga mengenai pipi Ibuk. Tersadar bahu suaminya berguncang, Ibuk meng-eratkan pangkuannya pada Hiro dengan sebelah tangan. Lalu tangan lainnya menepuk-nepuk hangat pundak Bapak. Berharap semoga itu bisa sedikit melegakan.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.