Batas & Keagungan
Bismillah,
Sebetulnya ini repos dari salah satu entri blog ini, Dalam Pandanganku. Hanya saja kali ini disajikan dalam bentuk tulisan.
Belajar dari Deep Blue, supercomputer yang berhasil mengalahkan dan dikalahkan oleh Kasparov dalam dua match pertandingan catur.
Berangkat dari pernyataan "setiap masalah ada solusinya" tapi tidak semua solusi dapat dibangun dengan mudah implementasinya. Ketidakmudahan ini disebabkan oleh adanya keterbatasan. Kita bisa saja membangun algoritma fungsi evaluasi setiap langkah pergerakan pion catur dengan memprediksi peluang gerak lawan. Dan ini tidak dilakukan untuk satu step saja, tapi juga memprediksi setiap kemungkinan langkah dari setiap pion player 1 dan efeknya terhadap langkah setiap pion yang mungkin dijalankan oleh player 2 (mulai ribet-ulala).
Intinya, saat lawan mulai menjalankan sebuah langkah start(evaluation) akan dijalankan sebelum komputer benar-benar melangkah. Langkah yang dipilih adalah langkah yang menggiring ke solusi dengan status akhir komputer == win. Pohon keputusan dengan daun win/failed akan dibangun terlebih dahulu sebelum komputer menjalankan langkah apapun. Ini adalah bentuk kombinasi probabilitas langkah yang amat sangat super ribet.
Oke ini bisa, hanya saja Kasparov mungkin keburu uzur menunggu prediksi deep blue selesai untuk menjalankan langkah pertamanya. Ada persoalan waktu dan ruang yang dihabiskan. Kompleksitas waktu T(n) yang dihasilkan mungkin bukan lagi dalam satuan polinomial melainkan exponensial bahkan faktorial. Dan sayangnya, algoritma dengan kompleksitas seperti ini tidak dapat dikatakan solusi.
Kemenangan Kasparov pada first match menggiring kita pada kesimpulan bahwa kerja paralel dengan komputasi tingkat tinggi itu mampu dilakukan oleh otak manusia. Sementara kemenangan deep blue pada second match mengingatkan kita bahwa belajar dan proses pembelajaran adalah bekal keberhasilan. In my humble opinion, selama satu tahun setelah kegagalan deep blue, algoritma deep learning yang ditambahkan ke deep blue diupgrade dan dioptimasi sedemikian sehingga ia bisa mengalahkan pecatur legendaris dunia di tahun 97-nya
Rasanya diri kita saja cukup untuk menjadi tanda.
Bagaimana kemampuan mata terbatas, telinga mendengar dalam rentang frekuensi yang terbatas, langkah yang terbatas oleh lelah, kemampuan makan pun terbatas oleh kapasitas lambung. Bahkan dengan segala keterbatasan ini Allah memampukan kita melakukan hal-hal yang begitu mengagumkan.
Sebetulnya tulisan ini bisa saya kembangkan menjadi sangat panjang hanya dengan memberi contoh. Seluruh ayat-ayat ilahi yang sepatutnya membuat kita kembali berevaluasi, mensyukuri, dan mengagumi betapa seluruh bentuk keterbatasan yang ada sesungguhnya adalah bagaimana Rabb menceritakan bahwa Pencipta tak mungkin berbatas. Pikiran dan seluruh apa yang ada dalam diri ini seyogyanya tunduk dan menghamba. Tidaklah segala sesuatu diciptakan sia-sia
Kembali. Ada yang berharap mampu melihat wujud tuhannya? Ah, jangan bercanda. Tak mampu.. tidak mampu. Manusia dengan kelas ketaqwaan Rasulullah pun pingsan. Terlalu megah dan Maha Hebat keagungan itu hingga kita tak dapat mengatasinya.
Kesanggupan cuma makan ayam richeese level 1, minta yang level 6! Sakit perut dan sepanjang jalan akan penuh dengan keluhan tentang mengapa memesan makanan level segitu.
Allahua'lam
Rabb, mampukan hati dan pikiran kami tunduk dalam kebenaran..
Semoga Allah berikan kesempatan dan ringankan langkah kita mengumpulkan ketaqwaan agar dengannya kita mampu. Mampu menyaksikan keagungan pada kehidupan setelah kematian
Sebetulnya ini repos dari salah satu entri blog ini, Dalam Pandanganku. Hanya saja kali ini disajikan dalam bentuk tulisan.
Karena keterbatasan, Aku menyaksikan keagunganBegitulah. Menurut saya adalah pernyataan yang sangat kurang tepat (kalau tidak boleh dibilang "salah") saat kita bertanya-tanya (dan menyatakan) mengapa kita manusia ini tak dibiarkan saja melihat wujud tuhannya. Bukankah dengan segala keterbatasan ini sudah begitu banyak ayat-ayat keagungan? Tuntutan agar diberikan kemampuan berlebih justru menunjukkan belum selesainya kita memahami, belum sempurnanya kita menghayati.
Belajar dari Deep Blue, supercomputer yang berhasil mengalahkan dan dikalahkan oleh Kasparov dalam dua match pertandingan catur.
Berangkat dari pernyataan "setiap masalah ada solusinya" tapi tidak semua solusi dapat dibangun dengan mudah implementasinya. Ketidakmudahan ini disebabkan oleh adanya keterbatasan. Kita bisa saja membangun algoritma fungsi evaluasi setiap langkah pergerakan pion catur dengan memprediksi peluang gerak lawan. Dan ini tidak dilakukan untuk satu step saja, tapi juga memprediksi setiap kemungkinan langkah dari setiap pion player 1 dan efeknya terhadap langkah setiap pion yang mungkin dijalankan oleh player 2 (mulai ribet-ulala).
Intinya, saat lawan mulai menjalankan sebuah langkah start(evaluation) akan dijalankan sebelum komputer benar-benar melangkah. Langkah yang dipilih adalah langkah yang menggiring ke solusi dengan status akhir komputer == win. Pohon keputusan dengan daun win/failed akan dibangun terlebih dahulu sebelum komputer menjalankan langkah apapun. Ini adalah bentuk kombinasi probabilitas langkah yang amat sangat super ribet.
Oke ini bisa, hanya saja Kasparov mungkin keburu uzur menunggu prediksi deep blue selesai untuk menjalankan langkah pertamanya. Ada persoalan waktu dan ruang yang dihabiskan. Kompleksitas waktu T(n) yang dihasilkan mungkin bukan lagi dalam satuan polinomial melainkan exponensial bahkan faktorial. Dan sayangnya, algoritma dengan kompleksitas seperti ini tidak dapat dikatakan solusi.
Kemenangan Kasparov pada first match menggiring kita pada kesimpulan bahwa kerja paralel dengan komputasi tingkat tinggi itu mampu dilakukan oleh otak manusia. Sementara kemenangan deep blue pada second match mengingatkan kita bahwa belajar dan proses pembelajaran adalah bekal keberhasilan. In my humble opinion, selama satu tahun setelah kegagalan deep blue, algoritma deep learning yang ditambahkan ke deep blue diupgrade dan dioptimasi sedemikian sehingga ia bisa mengalahkan pecatur legendaris dunia di tahun 97-nya
Rasanya diri kita saja cukup untuk menjadi tanda.
Bagaimana kemampuan mata terbatas, telinga mendengar dalam rentang frekuensi yang terbatas, langkah yang terbatas oleh lelah, kemampuan makan pun terbatas oleh kapasitas lambung. Bahkan dengan segala keterbatasan ini Allah memampukan kita melakukan hal-hal yang begitu mengagumkan.
Sebetulnya tulisan ini bisa saya kembangkan menjadi sangat panjang hanya dengan memberi contoh. Seluruh ayat-ayat ilahi yang sepatutnya membuat kita kembali berevaluasi, mensyukuri, dan mengagumi betapa seluruh bentuk keterbatasan yang ada sesungguhnya adalah bagaimana Rabb menceritakan bahwa Pencipta tak mungkin berbatas. Pikiran dan seluruh apa yang ada dalam diri ini seyogyanya tunduk dan menghamba. Tidaklah segala sesuatu diciptakan sia-sia
Kembali. Ada yang berharap mampu melihat wujud tuhannya? Ah, jangan bercanda. Tak mampu.. tidak mampu. Manusia dengan kelas ketaqwaan Rasulullah pun pingsan. Terlalu megah dan Maha Hebat keagungan itu hingga kita tak dapat mengatasinya.
Kesanggupan cuma makan ayam richeese level 1, minta yang level 6! Sakit perut dan sepanjang jalan akan penuh dengan keluhan tentang mengapa memesan makanan level segitu.
Allahua'lam
Rabb, mampukan hati dan pikiran kami tunduk dalam kebenaran..
Semoga Allah berikan kesempatan dan ringankan langkah kita mengumpulkan ketaqwaan agar dengannya kita mampu. Mampu menyaksikan keagungan pada kehidupan setelah kematian
Tidak ada komentar: