Rezeki yang "Tertunda"

Bismillah...

Ini adalah tentang seorang suami yang mampu menenangkan kegelisahan istrinya.

Malam itu, Ibu bercerita.
Ibu bukan termasuk golongan gadis-gadis yang pandai, dalam urusan mencari pendamping hidup. Jadi, Ibu lebih cenderung untuk pasrah pada pilihan ayahnya. Siapapun itu, Ibu akan menerimanya. Sejak kecil Ibu memang terkenal sebagai anak yang "saulah", istilah bagi masyarakat kampung kami untuk anak yang penurut dan tak banyak pinta.
Begitu saja, akhirnya Ibu bersuamikan Ayah.

Ibu menerima Ayah sebagai suaminya walau tahu Ayah hanyalah seorang guru, tak punyak banyak. Padahal seluruh desa tahu betul bahwa hanya ayah Ibu, keluarga Ibu, adalah satu-satunya keluarga yang memiliki mobil Kijang, belum banyak yang mampu membelinya dulu. Kebanyakan rumah cukup ditemani sepeda ontel yang terparkir di samping rumah tanpa gembok dan rantai.

Lalu suatu malam Ibu mengungkapkan kegelisahannya pada Ayah,
"Ajo, baa nak nyo. Awak ko kan ndak baharato"
(Bang, bagaimana sebaiknya, kita ini kan tidak punya uang)
"Itu ruponyo nan mangganja di ati adiak sajak kalam ari?"
(Itu rupanya yang mengganjal di hati adik sejak subuh tadi?)
"Awak nio pulo manyikolahan anak awak, buliah agak sanang hiduiknyo"
(Kita kan ingin juga menyekolahkan anak kita supaya lebih baik hidupnya di masa depan)
"Diak, kok miskin pado budi. Salamo elok laku jo parangai, ndak ado namonyo miskin diak. Kok harato, razaki tu, indak na di awak Tuhan Allah titipkan kini, beko ka anak awak sampai in sya a Allah."
(Dik, miskin itu ditentukan oleh adab. Selama baik sikap dan tingkah lakunya, tidak ada istilah miskin. Kalau harta, rezeki itu belum dititipkan Allah ke kita saat ini, in sya a Allah ia akan Allah berikan ke anak cucu kita)

Keyakinan itu yang meneguhkan Ibu untuk tetap berjuang dan menunggu, bersabar hingga rezeki itu Allah datangkan kepada anak-anaknya. Berjualan es, gorengan, donat, bahkan pergi ke sawah pun tetap dijalani Ibu bersama keyakinan itu. Receh demi receh yang terkumpul adalah transformasi keringat pengantar anak-anak Ibu menjadi sarjana seluruhnya.
Malam itu, mata Ibu berkaca-kaca mengenang suaminya.

Ya. Saat ini, raga Ayah tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Telah dulu menuju pangkuan Ilahi.
Beliau tidak sempat menyaksikan betapa indahnya keyakinan itu Allah wujudkan dalam kehidupan anak-anaknya.
Kata Mama suatu hari,
"Kalau saja Ayah masih hidup dan melihat anak Mama telah menjadi sarjana lulusan salah satu kampus terbaik di negeri ini, Mama yakin, Ayah Mama yang guru itu akan bangga dan tersenyum bahagia"
"Kenapa Ma?" Balasku bertanya.
"Karna menyaksikan betapa Maha Baiknya Allah menitipkan rezeki itu, pada anaknya hingga mampu menyekolahkan cucunya di tempat belajar yang baik"

Pertanyaannya, berapa tahun Ibu harus menunggu dan bersabar dalam perwujudan keyakinan suaminya itu?
Apakah teman-teman ingin tahu?
50 tahun, lebih.
Ya, selama itu.
Lantas, jika saat ini mewujudkan satu impian saja terlalu sulit, bahkan kita baru 2/3 tahun menunggu, semudah itu kah bagi kita untuk menyerah pada keyakinan kita? Padahal segalanya mungkin saja terjadi biiznillah?
Jangan menyerah ya! Teruslah melangkah :')


Catatan:
Ajo : panggilan untuk Uda/abang oleh orang Minang Pariaman.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.