Layang-Layang Puti (1)
Bismillah,
Buya Alim memberinya nama Puti. Dia adalah kawan mengajiku di Taman Quran yang gayanya seperti anak laki-laki tapi berparas elok. Walau begitu jangan bayangkan Puti berambut cepak dan suka memakai celana panjang motif loreng. Bukan. Justru rambutnya panjang dan kostum khasnya adalah baju kaos longgar ditambah rok kembang sejengkal bawah lutut. Aku dan Puti selalu pergi mengaji bersama. Berhubung rumahnya menuju masjid lebih jauh dibandingkan rumahku, ia selalu mampir ke rumah untuk menjemputku dengan sepeda ontel kesayangannya. Lalu sepulang mengaji kami --dia selalu mencoba memaksaku dan sayangnya selalu berhasil-- mampir ke lapangan di samping Balai Desa untuk bermain layang-layang. Tentu saja setelah mendapat izin terlebih dahulu dari Buya Alim, ayah Puti sekaligus guru mengaji kami. Di sana aku bertugas sebagai penjaga sepeda merangkap sebagai asisten pribadi kawanku itu, penggulung benang.
Suatu hari Puti mengikuti pertandingan layang-layang. Entah apa yang terjadi dengan layang-layang yang lain pada hari itu, atau teknik permainan Puti yang semakin bagus, layang-layang Puti berhasil memutuskan tali layang-layang yang lain. Hari itu oleh Kepala Desa, Puti dinyatakan sebagai Pemenang Festival Layang-layang antar anak nagari. Adalah hari yang sama seluruh kawan-kawan kami menjulukinya sebagai Puti Layang-Layang. Nama yang pas menurutku. Apa kalian tahu? Bahwa nama Puti bagi masyarakat Minangkabau berarti Puteri. Ya, asal mulanya adalah panggilan tersebut biasanya diberikan pada perempuan Minangkabau berdarah bangsawan atau keturunan kerajaan. Bagi Puti, daripada kenyataan bahwa ia memang anak Datuak, namanya terdengar lebih membanggakan sebagai Puteri Layang-layang.
Hari ini genap 18 tahun persabahatan kami, dan sudah 7 tahun Puti tidak lagi bermain layang-layang. Ia merantau ke kota dan berdasarkan tebakanku, ia tidak mendapatkan tempat yang tepat untuk bermain layang-layang di kota sana. Sore menjelang maghrib kemarin, ia baru saja tiba di desa kami. Sekedar berlibur. Demi melepas rindunya pada layang-layang, pagi ini ia kembali memintaku menemaninya ke Hilir. Di sana ada mushola dengan lapangan cukup luas di belakangnya. Pada salah satu sisi lapangan itu terdapat aliran sungai yang airnya jernih dan dingin, masih sama dan terjaga sejak kami kecil.
Sepanjang perjalanan ke Hilir, Puti tak banyak bicara. Hanya aku sesekali membuka percakapan, itu pun dengan topik yang kupikir sama sekali tak seru. Aku tidak ahli berbicara, itu keahlian Puti. Ia benar-benar mampu membawa suasana. Tapi tidak kali ini. Bahkan saat sampai di lapangan Hilir pun ia langsung memainkan layang-layangnya, sekali saja membuka pembicaraan sekedar meminta pertolonganku memegang layangan yang siap untuk diterbangkannya. Selebihnya, peranku adalah sebagai pengamat.
Di tengah permainan, Puti tampak melamun. Ia lengah hingga tali layangannya terulur terlalu panjang. Saat akan menariknya lagi, tali itu malah tersangkut cabang pohon durian. Perlahan Puti mengulurkan dan menarik kembali benang layangannya. Setelah beberapa kali melakukan hal yang sama, tali itu malah putus. Jika dulu biasanya Puti sangat bersemangat mengejar layang-layang siapa saja yang putus, kini ia sama sekali tak berkutik. Tidak menampakkan reaksi apapun saat layangannya sendiri putus.
Hari itu, aku paham betul bahwa seseorang di kota sana telah mengambil layang-layang Puti. Layang-layang yang mewakili segenap perasaan puti.
***
Penulis: Ahek hek hek. #senyumgenitputarbolamata
Riri: Acieeeee, Puti cieeee, eullew eulleeew. Capa tu capaaaa
Gigi: Ah, Uni penulis ini! Riri juga! Merusak suasana saja puuuun!! Sana-sana, kumau berimajinasi tentang kelanjutan kisah Layang-layang Puti :">
Dubber: Siapakah yang berhasil mendapatkan layang-layang puti? Saksikan kelanjutannya hanya di Blog Mentari Pagi~~
(dibaca dengan intonasi dubber/narator di serial Ultra Man)Penulis: Heh! Siapa bilang ada kelanjutannya Om Dubber?! Tak ada tak ada.. ku tak paham selebihnya wkwkwk. Kuhanya mengarang bebas oi! hahaha. Bubar bubar
Tidak ada komentar: