Menyerah
Bismillah,
Seorang sedang berlari sekencang mungkin menuju pasar desa, di mana keramaian bermuara. Lalu sesampainya di sana ia berteriak,
"Wahai penduduk desa! Karib kerabatku. Tetangga-tetanggaku. Teman sepermainanku!
Hari ini aku kabarkan pada kalian bahwa puncak ubunku telah beku, api hatiku telah redup. renyah tawaku tlah menguap! Aku menyerah! Aku menyerah!"
Teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ubun-ubunnya, bergantian ke dadanya, lalu menangkupkan kedua tangannya di wajah.
Sejenak suasana pasar hening. Semua pandangan terpaku pada sosok yang baru saja berbicara.
Sejenak, hanya sejenak. Lalu sedetik kemudian, seluruh aktivitas kembali berlanjut sebagaimana biasanya.
Orang itu bersimpuh, menopang tubuh dengan kedua lututnya, mukanya merah, tangisnya pecah...
"Hancur lebur tonggak asaku
Kabur buta pandang duniaku
Kaku ngilu tapak langkahku
Menyerah aku! Menyerah aku Tuhanku!"
Ia mengulang-ulang ungkapan kepasrahan itu berulang kali. Ia tahu itu tidak benar, namun di sisi lain ia tidak tahu lagi harus bagaimana.
Tiba-tiba sebuah gulungan kertas mendarat di hadapan orang itu. Terbang dari arah kerumuan, entah siapa yang melemparkan benda itu padanya.
Orang itu terkejut.
"Kertas apa ini?" pikirnya. Otak yang memerintah kedua tangannya untuk mengambil kertas itu lalu membacanya.
-------------------------------------------------------------------------------
Jangan membuat seolah-olah kamu berjuang sendiri menuju tujuan itu, sementara Tuhan hanya mengamati lantas membiarkanmu. Lupakah engkau bahwa Rabb mendengar setiap niatmu, meridhoi langkah kebaikanmu? Ide-ide cemerlangmu bersumber dariNya dan dirahmati olehNya.
-------------------------------------------------------------------------------
Orang itu, kembali menangis,
namun dengan hati yang dipenuhi
permohonan mengharap ampunan,
dari Rabb Yang Maha Mengetahui
yang nyata dan yang disembunyikan, masa lalu, kini juga masa depan
Seorang sedang berlari sekencang mungkin menuju pasar desa, di mana keramaian bermuara. Lalu sesampainya di sana ia berteriak,
"Wahai penduduk desa! Karib kerabatku. Tetangga-tetanggaku. Teman sepermainanku!
Hari ini aku kabarkan pada kalian bahwa puncak ubunku telah beku, api hatiku telah redup. renyah tawaku tlah menguap! Aku menyerah! Aku menyerah!"
Teriaknya sambil menunjuk-nunjuk ubun-ubunnya, bergantian ke dadanya, lalu menangkupkan kedua tangannya di wajah.
Sejenak suasana pasar hening. Semua pandangan terpaku pada sosok yang baru saja berbicara.
Sejenak, hanya sejenak. Lalu sedetik kemudian, seluruh aktivitas kembali berlanjut sebagaimana biasanya.
Orang itu bersimpuh, menopang tubuh dengan kedua lututnya, mukanya merah, tangisnya pecah...
"Hancur lebur tonggak asaku
Kabur buta pandang duniaku
Kaku ngilu tapak langkahku
Menyerah aku! Menyerah aku Tuhanku!"
Ia mengulang-ulang ungkapan kepasrahan itu berulang kali. Ia tahu itu tidak benar, namun di sisi lain ia tidak tahu lagi harus bagaimana.
Tiba-tiba sebuah gulungan kertas mendarat di hadapan orang itu. Terbang dari arah kerumuan, entah siapa yang melemparkan benda itu padanya.
Orang itu terkejut.
"Kertas apa ini?" pikirnya. Otak yang memerintah kedua tangannya untuk mengambil kertas itu lalu membacanya.
-------------------------------------------------------------------------------
Jangan membuat seolah-olah kamu berjuang sendiri menuju tujuan itu, sementara Tuhan hanya mengamati lantas membiarkanmu. Lupakah engkau bahwa Rabb mendengar setiap niatmu, meridhoi langkah kebaikanmu? Ide-ide cemerlangmu bersumber dariNya dan dirahmati olehNya.
-------------------------------------------------------------------------------
Orang itu, kembali menangis,
namun dengan hati yang dipenuhi
permohonan mengharap ampunan,
dari Rabb Yang Maha Mengetahui
yang nyata dan yang disembunyikan, masa lalu, kini juga masa depan