Pereda

Bismillah,

Kali ini tulisan curhat. Ayo Baca! Baca! Baca! Baca! #AlaPenontonNorak
--kalau diginiin ngga mau baca kan? ;-)

Akhir-akhir ini, emosi saya naik turun drastis. Berubah-ubah sangat cepat. Sebentar-sebentar mengurut dada, sebentar-sebentar beban berat itu "dihilangkan".
Pernah suatu kali saya cukup lelah menghabiskan waktu pagi hingga siang di luar asrama. Pas pulang ternyata saya menemukan asrama tidak dalam kondisi stand-by. Aduh kalau mau bilang stand-by asrama itu pokoknya levelnya tinggi. Kalau ditemukan sesuatu tidak pada tempatnya saja, itu tidak stand-by. Ketemu sampah permen itu juga tidak stand-by. Ketemu piring kotor belum dicuci bekas makan pagi, itu juga tidak stand-by. Saya pernah cerita deh kayaknya kalau ketemu sampah di lingkungan asrama susah, kecuali memang di tempat pembuangan sampah. Iya, di asrama, kami benar-benar belajar untuk hidup ter-atur.

Jadi, waktu itu saya yang ketika pulang menapakkan kaki di anak tangga-kebetulan asrama di lantai dua- dikejutkan oleh piring kotor, sampah yang tidak di tempat sampah, dan sendal yang tidak tersusun rapi. Pas di anak tangga terakhir, saya (sok bijaksana) dan berkata Maa Sya a Allah sambil memberikan senyum termanis tambah geleng-geleng kepala pada anak-anak yang kebetulan sedang nongkrong di depan asrama, entah itu menyetrika, membaca, cerita-cerita dan sebagainya. Mereka cuma balas, "Hehe..kakak. Sudah pulang?" tambah nyengir juga. Nyengirnya bikin lucu sih, sok polos begitu. Tapi mereka mesti diingatkan. Sampai kira-kira sepuluh langkah kecil saya masuk kamar. Pas di kamar saya guling-guling sendiri. Berdiri di depan cermin, dan mempersiapkan "teks ceramah" yang akan saya berikan ke mereka waktu abis maghrib nanti, waktu bebas. Ternyata belum barang sepuluh menit di asrama, saya sudah harus pergi lagi keluar. Sambil di jalan, saya matangkanlah teks ceramah saya. Sambil urut dada istigfar banyak-banyak, like I want to explode. Tapi kalo meledak, bukan keluar api melainkan air T-T

Ternyata eh ternyata, pas pulang ke asrama sore senja, saya menemukan anak-anak duduk manis dengan kondisi asrama sudah kinclong-ting-ting. I was relieved!! Wohooo! Yieey! Pokoknya teks ceramah saya tadi sudah menguap ngga berbekas di kepala. Ngga ada lagi piring kotor, ngga ada sendal yang merusak pemandangan karna ngga tersusun rapi, ngga ada sampah dan semua bersih.
Pokoknya sampai malam saya damai tentram :')

Pernah juga waktu itu tiba-tiba dijutekin. Saya ngga salah apa-apa padahal. Mungkin dianya memang lagi badmood. Tapi mencoba mengerti. Tetep aja jadi iba. Pas malemnya, si adik nyamperin saya trus senyum-senyum minta maaf. Dan selesai. Lagi-lagi I was relieved!

Ada lagi, waktu itu dibilang cuek. Nah entah kenapa pas di urusan ini mendengar dibilang gitu saya jadi muhasabah mati-matian. Padahal rasanya saya sudah berusaha keras memunculkan sisi romantis ke permukaan. Saya berusaha memperhatikan tiap detil kegiatan anak-anak. Yang mereka tiba-tiba matanya bengkak, saya tepuk-tepuk halus pundaknya. Kata dia temannya pada ngga tahu kalau ada yang berubah dari matanya. Atau yang pas jadwal makan ngga keliatan makan bareng. Saya minta tolong temannya supaya dia diajakin makan bareng. Atau pas tengah malam saya kebangun dan memastikan selimut mereka bener biar ngga masuk angin besok paginya. Cuma saya emang ngga terbiasa mengucapkan "Selamat Tidur". Dan saya tidak berniat mengungkit-ungkit permasalahan mereka di masa lalu. Mereka yang ada bersama saya adalah mereka saat ini.

Dengan berbagai kejadian ini saya sering sekali ingat pada orang tua saya.
Dulu zaman SD pernah saya nakal ke Mama. Karna waktu disuruh beres-beres rumah, saya malah kabur main-main di lapangan komplek. Pulang-pulang mama ceramah soal perempuan yang harus mengerti dan kenal dengan rumahnya. Keliatan rumah kotor, ambil sapu lalu bersihkan. Keliatan rumput meninggi, cabut lalu bersihkan. Atau waktu makan malam, mata kami bersaudara masih tak teralihkan dari TV. Papa sibuk berdehem-dehem supaya kami "ngeh" ini jadwal makan malam bersama dan kami harus "dengan kesadaran" sendiri duduk di meja makan. Mensyukuri apapun lauk yang dimasak mama. Giliran kuping mulai bebal, dibilangin ngga ngerti-ngerti. Mama mulai pasang aksi diam, bukan mendiamkan. Tapi ngga minta kami melakukan apapun. Nah, saat itulah kami mulai beraksi bagi-bagi tugas. Kakak menyapu rumah, saya mencuci piring, cabut rumput barengan, kerjain pe-er, dan semuanya kami lakukan tanpa disuruh mama. Lalu, bisa ditebak apa yang terjadi? Aksi diam mama berhenti. Pembagian tugas harian pun mulai dikontrol mama seperti biasa. Kami lebih senang mama begini. Haha.

Kebayang juga waktu dulu saya pernah pasang tampang jutek sama mama, padahal saya aja yang ngga ngerti cara kontrol wajah. Mungkin waktu itu hati mama juga iba. Saya yang dijutekin bukan sama anak sendiri saja merasa demikian, apalagi mama dijutekin sama anak yang ia perjuangkan kehadirannya di muka bumi T.T . Alhamdulillah waktu itu sudah minta maaf berkat pesantren ramadhan. Tapi yang namanya minta maaf sama orang tua mesti tiap hari kayaknya. Soalnya si anak kadang-kadang suka ngga nyadar salahnya apa. Semoga waktu itu permohonan maaf kami juga jadi pereda mama.

Haha. Kadang-kadang saya suka ngeri sendiri dengan cermin kehidupan :3

Hikmah dalam hidup ini sungguh bertebaran seperti cahaya matahari yang berpendar ke sana ke mari di muka bumi. Tinggal kita yang mau menangkap dan menyimpannya, atau mengacuhkannya. Cahaya matahari hari ini tidak akan sama dengan cahayanya esok hari. Setidaknya menurut saya begitu...

 :')
Semoga keberadaan kita bisa jadi obat bagi orang-orang di sekitar kita~
Aamiin

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.