Doakan Aku, Kak
Bismillah,
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan beberapa orang tamu jauh. Adik kelas yang dulu pernah bersekolah di sekolah tempat saya mengabdi kini. Adik-adik yang menghabiskan tiga tahun masa SMP mereka di sini. Dahulu, kami makan masakan yang sama, minum air yang sama, menegakkan shalat di mesjid yang sama, segala bersama. Tapi yang namanya santri asrama, latar belakang keluarga, pemahaman dan pengamalan ilmu kecil kemungkinan akan sama.
Anak pesantren. Sebagian kami meyakini bahwa gelar itu adalah salah satu penjagaan. Banyak orang beranggapan bahwa anak pesantren itu otaknya dipenuhi ilmu agama dan begitu pula harusnya hati dan tindak tanduknya. Sebagian kami menciptakan anggapan itu sebagai nasehat, standar pribadi bahwa tindak tanduk kami hendaknya demikian--seperti yang orang-orang bicarakan. Seperti kata saya tadi, hanya sebagian. Lalu bagaimana dengan sebagian yang lain? Hm, beberapa dari kami memilih untuk membuang "gelar" itu jauh-jauh. Anti sekali menyematkan gelar mantan santri. Alasannya, entahlah. Hanya Rabb yang tahu isi hati manusia. Mungkin ada yang merasa belum siap mengemban amanah sebagai anak pesantren dan masih ingin bebas mencari jati diri.
Saya pikir pendapat itu yang dibawa oleh adik kelas saya ini. Membuka tutup kepala yang dulu tiga tahun menjaga rambutnya adalah pilihannya kini. Saya tidak akan berkata apa-apa. Saya yang sejak 8 tahun lalu baru bertemu dengannya lagi sekarang, hanyalah seorang kakak kelas. Dalam pikiran saya, usaha yang bisa saya lakukan adalah menerimanya dan berdoa semoga Allah dengan cara apapun menjaga mereka semua, mengembalikan mereka semua.
Kami bercerita banyak tentang apa yang terjadi di sekolah setelah tiga tahun mereka lulus SMP, sementara saya masih di sekolah yang sama sebagai santri SMA. Bercerita tentang jalan hidup masing-masing setelah tak bertemu. SMA lanjutan, kampus lanjutan dan skripsi yang sekarang sedang mereka perjuangkan. Intinya, kami bercerita banyak. Saya memperhatikan dengan baik setiap cerita mereka dan saya menyadari satu hal. Adik kelas saya yang dahulu paling "terkenal" di mata para ustadzah adalah orang yang paling merindukan sekolah ini. Dia seolah melupakan betapa keras penolakannya dulu untuk bertahan hingga lulus SMP dari sini -- walau akhirnya alhamdulillah bertahan hingga lulus 3 tahun. Sesekali matanya berkaca-kaca mengenang hari-hari dahulu. Tapi bulir-bulir itu tidak sempat jatuh, buru-buru dia hilangkan bersama angin.
Detik-detik ia harus kembali pulang, ia berbisik lirih pada saya.
"Kak, doakan aku supaya berhijab yang bener ya Kak..."
Ia hanya tersenyum sambil memutar stir mobil. Pulang.
"Aamiin. Allahu samii'un 'aliim"
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan beberapa orang tamu jauh. Adik kelas yang dulu pernah bersekolah di sekolah tempat saya mengabdi kini. Adik-adik yang menghabiskan tiga tahun masa SMP mereka di sini. Dahulu, kami makan masakan yang sama, minum air yang sama, menegakkan shalat di mesjid yang sama, segala bersama. Tapi yang namanya santri asrama, latar belakang keluarga, pemahaman dan pengamalan ilmu kecil kemungkinan akan sama.
Anak pesantren. Sebagian kami meyakini bahwa gelar itu adalah salah satu penjagaan. Banyak orang beranggapan bahwa anak pesantren itu otaknya dipenuhi ilmu agama dan begitu pula harusnya hati dan tindak tanduknya. Sebagian kami menciptakan anggapan itu sebagai nasehat, standar pribadi bahwa tindak tanduk kami hendaknya demikian--seperti yang orang-orang bicarakan. Seperti kata saya tadi, hanya sebagian. Lalu bagaimana dengan sebagian yang lain? Hm, beberapa dari kami memilih untuk membuang "gelar" itu jauh-jauh. Anti sekali menyematkan gelar mantan santri. Alasannya, entahlah. Hanya Rabb yang tahu isi hati manusia. Mungkin ada yang merasa belum siap mengemban amanah sebagai anak pesantren dan masih ingin bebas mencari jati diri.
Saya pikir pendapat itu yang dibawa oleh adik kelas saya ini. Membuka tutup kepala yang dulu tiga tahun menjaga rambutnya adalah pilihannya kini. Saya tidak akan berkata apa-apa. Saya yang sejak 8 tahun lalu baru bertemu dengannya lagi sekarang, hanyalah seorang kakak kelas. Dalam pikiran saya, usaha yang bisa saya lakukan adalah menerimanya dan berdoa semoga Allah dengan cara apapun menjaga mereka semua, mengembalikan mereka semua.
Kami bercerita banyak tentang apa yang terjadi di sekolah setelah tiga tahun mereka lulus SMP, sementara saya masih di sekolah yang sama sebagai santri SMA. Bercerita tentang jalan hidup masing-masing setelah tak bertemu. SMA lanjutan, kampus lanjutan dan skripsi yang sekarang sedang mereka perjuangkan. Intinya, kami bercerita banyak. Saya memperhatikan dengan baik setiap cerita mereka dan saya menyadari satu hal. Adik kelas saya yang dahulu paling "terkenal" di mata para ustadzah adalah orang yang paling merindukan sekolah ini. Dia seolah melupakan betapa keras penolakannya dulu untuk bertahan hingga lulus SMP dari sini -- walau akhirnya alhamdulillah bertahan hingga lulus 3 tahun. Sesekali matanya berkaca-kaca mengenang hari-hari dahulu. Tapi bulir-bulir itu tidak sempat jatuh, buru-buru dia hilangkan bersama angin.
Detik-detik ia harus kembali pulang, ia berbisik lirih pada saya.
"Kak, doakan aku supaya berhijab yang bener ya Kak..."
Ia hanya tersenyum sambil memutar stir mobil. Pulang.
"Aamiin. Allahu samii'un 'aliim"
Tidak ada komentar: