Melintas Jawa (2)
Bismillah,
Setelah selesai di Yogyakarta, perjalanan saya lanjutkan ke Malang dengan tujuan utama Batu.
Perjalanan saya ditemani dengan doa, dan kekhawatiran orang tua karna anaknya jalan-jalan sendiri. Ditambah kekhawatian Ustadzah yang akan saya kunjungi. Saya sebenarnya juga pernah merasa khawatir. Namun, keyakinan saya terhadap perlindungan Allah mengalahkan kekhawatiran itu. Jadi saya percaya, benar-benar percaya. Serta bertawakal, benar-benar bertawakal selama di perjalanan. Berharap tidak ada macam-macam keanehan dan kesulitan yang akan dihadapi.
Perjalanan dari Yogyakarta ke Malang, saya gunakan kereta api Malioboro Ekspress. Berangkat jam setengah 8, sampai di Malang pukul 4. Di Malang, saya disambut hujan. Jalanan basah. Saya menikmati hujan sambil menunggu teman saya yang bersedia dengan baik hati menjemput di stasiun padahal dari kontrakannya ke stasiun cukup jauh. Alhamdulillah, berkah ukhuwwah memang subhanallah. Karna terlalu malam untuk langsung ke Batu menemui ustadzah, malam itu saya menginap di tempat teman saya tadi, sembari menunggu pagi yang akan membuka jalan menuju Batu, Al-Izzah, boarding school modern tempat ustadzah saya mengajar.
Siang hari, saya baru benar-benar sampai di Batu. Kata ustadzah, saya datangnya siang saja karna pagi akan sangat macet mengingat hari kedatangan saya adalah hari libur, dan para orang tua menjemput anak-anaknya.
Saya akhirnya bertemu dengan beliau. Guru yang bersedia menjadi tempat mengadu segala cerita persahabatan saya dengan Quran. Jatuh bangun, susah senang, beliau bersedia mendengarkan, dan mengingatkan saya. Saya suka diingatkan begitu. Diingatkan menuju jalan kebaikan. Beliau bercerita tentang banyak hal. Tentang kedermawanan pasangan wali murid dan nilai itu mereka turunkan ke anaknya.
Di sana, ada seorang wali murid yang begitu dermawan, kaya hati kaya harta. Si Murid, jika diperhatikan dengan seksama tampak bahwa barang-barang yang dipakainya adalah barang-barang bagus. Semua orang di pondok itu tahu bahwa dia adalah murid yang paling kaya, tapi ia tak pernah menampakkannya. Suatu hari si murid telat masuk ke asrama. Ia berusaha meminta maaf dan menyembunyikan alasan keterlambatannya masuk. Setelah diinterogasi oleh ustadzah, akhirnya ia pasrah dan mengaku sambil berbisik pelan sekali bahwa ia baru saja kembali dari umroh. Umroh itu, hadiah dari orang tuanya karna ia berhasil menyelesaikan hafalan setengah Al-Quran.
Di lain waktu, ustadzah saya sedang membutuhkan tiket untuk pulang ke Padang. Berhubung ustadzah tidak begitu tahu cara pesan tiket, dan hanya tahu bahwa Ibunya si Murid katanya punya kenalan agen pemesanan tiket pesawat, beliau meminta bantuan si Ibu untuk memesan tiket. Suatu sore, tiket yang telah dipesan dititipkan ke satpam dalam amplop. Tidak ada harga tertera di sana. Ustadzah saya menghubungi si Ibu, bertanya tentang harga tiket. Si Ibu hanya menjawab pertanyaan dengan "Doa ustadzah lebih dari cukup untuk kami. Mohon bimbingan untuk anak saya dalam proses menghafalnya".
Pernah juga, si Ibu dan suaminya adalah salah satu donatur utama bagi pondok. Suatu hari, si anak diberi izin khusus yang tidak diberikan pada santri lain. Si Ibu ini merasa kecewa pada pihak perizinan karna beliau sesungguhnya tidak ingin anaknya diperlakukan berbeda. Dalam satu kesempatan, beliau bercerita ke Ustadzah bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang rezeki. Semakin banyak memberi semakin banyak mendapat. Keluarga ini adalah contoh nyatanya.
Ustadzah saya juga mengingatkan bahwa ketika rezeki itu habis, tandanya ia akan datang lagi. Jadi tak perlu gundah gulana karna harta yang mulai menipis. In sya a Allah ia akan datang lagi dengan keberkahan di dalamnya. Ini adalah cerita tentang rezeki.
Tentang Quran. Saya amat percaya pada Quran. Tapi suatu hari saya merasa bahwa hafalan 30 juz ternyata tidak menjamin kesempurnaan akhlak seseorang. Mendengar perkataan saya, ustadzah berkata bahwa hal itu memang benar. Tapi itu tidak berpengaruh terhadap keyakinan kita terhadap Al-Quran. Jika ada kesalahan, yang salah adalah manusianya. Hafalan 30 juz itu mampu menggiring seseorang menuju neraka atau surga. Ini adalah soal pertanggungjawaban. Soal konsistensi, soal istiqomah, soal hobi, pekerjaan, dan profesi seumur hidup, menghafal Al-Quran. Setiap orang memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Lantas ketika kita memilih kebaikan untuk menjadi penghafal Quran, apakah kita akan membiarkan langkah berpindah haluan menuju neraka hanya karna kemalasan dan rasa putus asa dalam muroja'ah?
Hei, kamu ngga mau kan, jadi nenek-nenek yang di hari tua-nya cuma duduk diam di kursi goyang menunggu ajal menjelang? Tidak bisa baca, mata sudah rabun, tenaga telah layu. Satu-satunya pekerjaan terbaik untuk sang nenek seperti itu adalah muroja'ah. Allah menentukan bahwa fitrah manusia akan menjadi tua dan lupa. Sementara Quran yang di masa muda menjadi sahabatnya akan mencegahnya dari penyakit lupa yang parah di masa tua.
Begitulah, perjalanan melintas Jawa saya tutup dengan nasihat, hikmah & kebaikan.
Setelah ini tepatnya besok pagi, saya akan pulang.
Mengabdi untuk Diniyyah Puteri.
Berbakti untuk Negeri.
Membekali diri untuk akhirat nanti.
Setelah selesai di Yogyakarta, perjalanan saya lanjutkan ke Malang dengan tujuan utama Batu.
Perjalanan saya ditemani dengan doa, dan kekhawatiran orang tua karna anaknya jalan-jalan sendiri. Ditambah kekhawatian Ustadzah yang akan saya kunjungi. Saya sebenarnya juga pernah merasa khawatir. Namun, keyakinan saya terhadap perlindungan Allah mengalahkan kekhawatiran itu. Jadi saya percaya, benar-benar percaya. Serta bertawakal, benar-benar bertawakal selama di perjalanan. Berharap tidak ada macam-macam keanehan dan kesulitan yang akan dihadapi.
Perjalanan dari Yogyakarta ke Malang, saya gunakan kereta api Malioboro Ekspress. Berangkat jam setengah 8, sampai di Malang pukul 4. Di Malang, saya disambut hujan. Jalanan basah. Saya menikmati hujan sambil menunggu teman saya yang bersedia dengan baik hati menjemput di stasiun padahal dari kontrakannya ke stasiun cukup jauh. Alhamdulillah, berkah ukhuwwah memang subhanallah. Karna terlalu malam untuk langsung ke Batu menemui ustadzah, malam itu saya menginap di tempat teman saya tadi, sembari menunggu pagi yang akan membuka jalan menuju Batu, Al-Izzah, boarding school modern tempat ustadzah saya mengajar.
Al-Izzah berlokasi di kaki bukit. Mentari pagi di sini cantik!
Saya akhirnya bertemu dengan beliau. Guru yang bersedia menjadi tempat mengadu segala cerita persahabatan saya dengan Quran. Jatuh bangun, susah senang, beliau bersedia mendengarkan, dan mengingatkan saya. Saya suka diingatkan begitu. Diingatkan menuju jalan kebaikan. Beliau bercerita tentang banyak hal. Tentang kedermawanan pasangan wali murid dan nilai itu mereka turunkan ke anaknya.
Di sana, ada seorang wali murid yang begitu dermawan, kaya hati kaya harta. Si Murid, jika diperhatikan dengan seksama tampak bahwa barang-barang yang dipakainya adalah barang-barang bagus. Semua orang di pondok itu tahu bahwa dia adalah murid yang paling kaya, tapi ia tak pernah menampakkannya. Suatu hari si murid telat masuk ke asrama. Ia berusaha meminta maaf dan menyembunyikan alasan keterlambatannya masuk. Setelah diinterogasi oleh ustadzah, akhirnya ia pasrah dan mengaku sambil berbisik pelan sekali bahwa ia baru saja kembali dari umroh. Umroh itu, hadiah dari orang tuanya karna ia berhasil menyelesaikan hafalan setengah Al-Quran.
Di lain waktu, ustadzah saya sedang membutuhkan tiket untuk pulang ke Padang. Berhubung ustadzah tidak begitu tahu cara pesan tiket, dan hanya tahu bahwa Ibunya si Murid katanya punya kenalan agen pemesanan tiket pesawat, beliau meminta bantuan si Ibu untuk memesan tiket. Suatu sore, tiket yang telah dipesan dititipkan ke satpam dalam amplop. Tidak ada harga tertera di sana. Ustadzah saya menghubungi si Ibu, bertanya tentang harga tiket. Si Ibu hanya menjawab pertanyaan dengan "Doa ustadzah lebih dari cukup untuk kami. Mohon bimbingan untuk anak saya dalam proses menghafalnya".
Pernah juga, si Ibu dan suaminya adalah salah satu donatur utama bagi pondok. Suatu hari, si anak diberi izin khusus yang tidak diberikan pada santri lain. Si Ibu ini merasa kecewa pada pihak perizinan karna beliau sesungguhnya tidak ingin anaknya diperlakukan berbeda. Dalam satu kesempatan, beliau bercerita ke Ustadzah bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang rezeki. Semakin banyak memberi semakin banyak mendapat. Keluarga ini adalah contoh nyatanya.
Ustadzah saya juga mengingatkan bahwa ketika rezeki itu habis, tandanya ia akan datang lagi. Jadi tak perlu gundah gulana karna harta yang mulai menipis. In sya a Allah ia akan datang lagi dengan keberkahan di dalamnya. Ini adalah cerita tentang rezeki.
Tentang Quran. Saya amat percaya pada Quran. Tapi suatu hari saya merasa bahwa hafalan 30 juz ternyata tidak menjamin kesempurnaan akhlak seseorang. Mendengar perkataan saya, ustadzah berkata bahwa hal itu memang benar. Tapi itu tidak berpengaruh terhadap keyakinan kita terhadap Al-Quran. Jika ada kesalahan, yang salah adalah manusianya. Hafalan 30 juz itu mampu menggiring seseorang menuju neraka atau surga. Ini adalah soal pertanggungjawaban. Soal konsistensi, soal istiqomah, soal hobi, pekerjaan, dan profesi seumur hidup, menghafal Al-Quran. Setiap orang memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Lantas ketika kita memilih kebaikan untuk menjadi penghafal Quran, apakah kita akan membiarkan langkah berpindah haluan menuju neraka hanya karna kemalasan dan rasa putus asa dalam muroja'ah?
Hei, kamu ngga mau kan, jadi nenek-nenek yang di hari tua-nya cuma duduk diam di kursi goyang menunggu ajal menjelang? Tidak bisa baca, mata sudah rabun, tenaga telah layu. Satu-satunya pekerjaan terbaik untuk sang nenek seperti itu adalah muroja'ah. Allah menentukan bahwa fitrah manusia akan menjadi tua dan lupa. Sementara Quran yang di masa muda menjadi sahabatnya akan mencegahnya dari penyakit lupa yang parah di masa tua.
Begitulah, perjalanan melintas Jawa saya tutup dengan nasihat, hikmah & kebaikan.
Setelah ini tepatnya besok pagi, saya akan pulang.
Mengabdi untuk Diniyyah Puteri.
Berbakti untuk Negeri.
Membekali diri untuk akhirat nanti.
Tidak ada komentar: