Sesal

Bismillah,

Siang itu terik. Sementara Riri menikmati hangat sinar yang membakar kulitnya di tepian sawah. Ia merenung dalam dan diam. Tak berapa menit berselang, suara terompah terdengar mendekati keheningan Riri.
"Halo. Apakah Riri sudah makan siang?" Ternyata Gigi yang datang-datang langsung membuyarkan lamunan Riri dengan mengibas-kibaskan tangannya nyaris menyentuh hidung Riri.
"Eh, kamu Gi. Hai..."
"Itu saja? Mana jawaban pertanyaan basa-basiku?" Gigi sewot tak beralasan
"Sudah, alhamdulillah.." Kali ini malah Gigi yang tak acuh pada jawaban Riri.

Hening. Lama.
Gigi tahu sahabatnya itu sedang tidak bersama dengan petuah-petuah hikmahnya kini. Ia sepertinya terhanyut dalam lamunan. Gigi akan mengembalikan kesadarannya. Baru saja Gigi membuka mulut angkat bicara, sebulir kilauan tampak tertahan di pelupuk mata Riri.
"Baiklah, ada yang sedang tidak menjadi dirinya.", Riri mendengarkan tapi tak menyahut.
"Aku akan memaknai penantian kali ini"

Hening. Lama. Lagi

"Aku membenci penyesalan seperti aku menghindari pertemuan dengannya. Aku tak suka penyesalan layaknya aku berdoa agar dia tak pernah datang. Tapi kini ia memaksa masuk dan menggoyahkan kesyukuran. Parahnya lagi, aku membuka pintu untuknya, membiarkan dia menyelimutiku"
"Tentang apa?"
"Gi, Aku telah khilaf, sangat khilaf. Selama ini terlalu egois untuk menghibur diriku, bahwa ilmu itu hanya untukku. Aku terlalu muak mendengar nilai adalah segalanya, sehingga aku tak pernah peduli dengan satu kata itu. Kata itu, menjadikan seseorang tega mengutuki dirinya sendiri hanya untuk membuat yang lain mengagumi. Hingga, aku abai saja."
"Hm..." Gigi paham betul setiap kata curahan Riri
"Aku, selama ini belajar, karena aku suka belajar. Aku menuntut ilmu karena aku selalu suka dengan frasa itu. Tapi, sekali lagi kukatakan, aku telah alfa mengingat bahwa satu kata itu-nilai-tidak seharusnya tidak kupedulikan. Aku terlambat menyadari bahwa karena kata itu bisa jadi adalah alasan senyuman dan kebanggaan Ayah-Ibuku.."
"Aku sungguh-sungguh terlupa akan hal itu, Gi... Dan kini aku amat menyesal..."
"Ri...Ayah Ibu in sya a Allah mengerti" Gigi berusaha menenangkan walaupun ia sunggu tak pandai hal-hal begini. Peran itu sudah semestinya menjadi milik Riri. Namun, kali ini setidaknya ia berusaha.
"Aku Gi, Aku yang tidak bisa mengerti ketidakpedulianku. Kealfaanku." Riri tenggelam dalam isak.
"Jika.. kita tak mampu...menanggung beratnya perjuangan menuntut ilmu...maka... di masa depan kita akan menanggung perihnya ketidakmampuan itu?" Gigi terbata-bata ragu.
"Sebuah rahasia telah diungkapkan oleh Imam Syafi'i, Ri. Kau sedih, aku pun sedih sama sepertimu. Tapi, Hei! Kita tidak akan membiarkan diri kita hanyut terlalu lama padahal kita sadar kan? Hari ini kita belajar, Ri. Bahkan persis saat ini kita sedang meresapi kembali ilmu itu. Rahasia yang memang lebih pas diajarkan oleh guru bernama pengalaman. Kalau rahasia itu tidak kita alami sendiri, kita tidak pernah tahu rasa perihnya. Hehe. Katakanlah ini adalah persiapan menjadi lebih baik. Mempersiapkan kehidupan selanjutnya yang penuh dengan bekal kebaikan dan keteguhan hati. Meninggalkan segala kebodohan, kecerobohan dan ketidakpedulian kita. Apa dulu aku pernah bilang, hmm... Miss Blank, Miss Clueless :))"
"..." Riri tersenyum tipis. Dipaksakan.
"Ah, itu tidak sopan namanya, Nak! Tertawalah yang lebar. Ayo tertawa!!" Gigi memaksa Riri tertawa lebar. Menarik-narik bibir kawannya itu ke kanan dan ke kiri.

...

Belajarlah dari kesalahan.
Petiklah hikmah yang bertebaran di jalan kebenaran.
Rabbana dzalamna anfusana wa in llam tagfirlana wa tarhamna la nakuunanna minal khasiriin...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.