Sayur

Bismillah,

Sayur. Aku tentu saja bukan pedagang sayur yang meneriakkan sayur untuk dijual. Justru aku adalah sayur. Aku sedang mengeja namaku. Aku tokoh utama dalam cerita ini. Jadi, sebentar saja. Bersediakah kau mendengarkanku bercerita? Tidak lama, sebentar saja.

Aku dan kawan-kawanku ditakdirkan hidup dalam rentang waktu tertentu. Kami sudah paham betul hal itu. Suatu hari jika kami telah cukup umur, kami akan dipanen dan digiring ke pasar tempat para koloni sayuran berkumpul. Bahkan di pasar itu aku sering kali bertetangga dengan daging-daging. Oh, ya kenapa aku sebut sering kali? Karna aku adalah sayur ditumpukan paling bawah. Daging-daging segar yang kulihat tentu saja hasil curi-curi pandangku.

Bicara soal daging, nenekku, saat masih hidup, pernah bercerita bagaimana nasib kelompok kami jika disandingkan dengan daging. Kami memang kecil dan terdiri dari berbagai warna. Di tengah-tengah para meat lover, kami hanyalah hiasan penambah daya tarik di atas daging panggang. Pun bagi pecinta permen, anak-anak usia 10 tahun ke bawah. Orang tua mereka selalu meletakkan kami di piringnya. Sayangnya untuk  kedua kondisi ini, kami berakhir di pinggir-pinggir piring. Tak dimakan dan dibuang. Membusuk bersama tanah.

Aku jadi berpikir bagaimana nasibku sebagai sayur di tumpukan bawah? Apakah sebelum aku melalui proses pembumbuan hidupku harus berakhir? Lebih parah lagi, aku tidak akan pernah dimakan dan tetap dibuang. Lantas aku harus kesal?

Lagi-lagi nenekku berkata, kami tidak mungkin marah. Bagaimana tidak, jika dimakan kami memberi manfaat asupan vitamin dan mineral bagi tubuh yang memakan. Jika dibuang kami memberi manfaat kesuburan bagi tanah. Bagaimana pun kami berakhir, selalu ada kesempatan untuk memberi manfaat. Jadi, mana mungkin aku kesal.

Aku sang sayur di tumpukan bawah. Akan terus berdoa dan berharap agar aku bermanfaat sebagaimana aku dihidupkan, sebagaimana aku dimatikan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.