Kotak-Kotak Ilmu
Bismillah
Di suatu tempat di belahan bumi nan terhampar luas,
Seseorang tengah khusyu bin sibuk dengan kesenangannya.
Seperti lengket dengan QWERTY, tangannya bermain-main
dengan lihai di atas keyboard. Tanpa perlu mengarahkan
pandangan ke tombol-tombol berhuruf di personal computer
miliknya, ia telah hafal setiap centi posisi semua shortcut.
Bagaimana tidak, beberapa tahun belakangan ia habiskan
bersama 'sahabat karib'-nya itu. Waktu yang cukup lama
bagi seseorang untuk akrab dengan sebuah mesin tanpa
penolakan. Permainan di hadapannya telah berulang kali
ia mainkan. Tapi hari ini permainan yang sama release versi baru.
Mana mau ia ketinggalan. Begitulah, dari pagi ia bermain
tapi kini tengah malam, permainan itu amat sulit ditaklukkan.
Semakin lama pikirannya tak mampu berkonsentrasi,
bayangan itu hadir kembali. Akibat kecewa pada takdir,
ia telah memilih. Keputusannya bulat meninggalkan kelas,
bangku, absen, dosen dan kawan sepermainannya.
Ia kalut, mengamuk. di bantingnya sahabat karibnya ke sudut ruangan.
"Aku sudah cukup muak! I am done. "
Di koordinat lain di permukaan bumi,
Seseorang tengah berbaring di atas ayaman tikar bambu
yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun.
Tikar itu tidak pernah diganti. Wangi bambunya telah
menguap tergantikan dengan aroma keringat yang telah mengering.
Kedua tangannya memangku kepala menggantikan fungsi bantal.
Pandangannya lurus ke langit-langit bilik. Dia hanya melepas lelah,
tidak benar-benar terlelap, tentu saja. Mana mungkin ia bisa
tidur sementara lima belas menit lagi adalah gilirannya pegang stir.
Belum lagi badai laut malam itu membuat isi perutnya ikut
terombang ambing bersama muatan lain dalam kapal.
Hari itu ia merasa telah bekerja maksimal.
Kelelahan yang selama ini ditahannya sudah meluap.
Tenaganya terkuras habis, tidak ada sisa untuk membangun
bendungan menahan luapan kekecewaan pada takdir.
Matanya beralih menatap jendela kecil di sisi kapal.
Laut bisa terlihat dari sana,
"Aku lelah. Aku akan mengakhiri semuanya hari ini!"
-------------------------------------------------------------------
Cerita ini hanya imajinasiku. Betapa banyak umat di dunia ini yang diberikan kesempatan menuntut ilmu, tapi membuang kesempatan itu hanya karena merasa tidak ada satu keuntungan pun yang ia peroleh dalam petualangan ilmunya. Semangat dalam dirinya ia campakkan sia-sia. Ilmu itu, sekecil apapun ia, tidak mungkin tidak penting. Ilmu itu sesederhana apapun ia, selalu memberi berkah. Kalau lah ada ilmu hitam, perlu juga diketahui semata-mata untuk mencari penangkalnya seperti Qul! A'udzu bi Rabbi Lfalaq, min syarri maa khalaq...
Betapa banyak umat yang iri pada orang-orang yang diberi kesempatan menuntut ilmu, sementara mereka hanya bermodal fisik, tak ada sanak saudara, tak pula berbiaya. Mereka hidup karena mengingat perut. Semangat berapi-api untuk menuntut ilmu, dengan sangat terpaksa mereka biarkan redup. Cahaya itu lemah hingga akhirnya tanpa diterpa angin pun ia telah padam lebih dulu. Berpikir positif. Yakinlah, Dzat yang segala kebaikan bersumber dari-Nya tak mungkin menetapkan keburukan pada hambanya. Bukankah tidak ada yang akan hilang atau merugi jika berpikir positif melainkan diperoleh ketentraman dan ketenangan hati? seperti Wa maa kaana Allahu liyudhii'a imanakum, Ujiibu da'wata ddaa'i idza da'an...
~ Dan, semua bermuara pada bagaimana rasa syukur yang mampu dihadirkan dan ditunjukkan oleh seorang hamba terhadap tetapan Khaliknya.
Di suatu tempat di belahan bumi nan terhampar luas,
Seseorang tengah khusyu bin sibuk dengan kesenangannya.
Seperti lengket dengan QWERTY, tangannya bermain-main
dengan lihai di atas keyboard. Tanpa perlu mengarahkan
pandangan ke tombol-tombol berhuruf di personal computer
miliknya, ia telah hafal setiap centi posisi semua shortcut.
Bagaimana tidak, beberapa tahun belakangan ia habiskan
bersama 'sahabat karib'-nya itu. Waktu yang cukup lama
bagi seseorang untuk akrab dengan sebuah mesin tanpa
penolakan. Permainan di hadapannya telah berulang kali
ia mainkan. Tapi hari ini permainan yang sama release versi baru.
Mana mau ia ketinggalan. Begitulah, dari pagi ia bermain
tapi kini tengah malam, permainan itu amat sulit ditaklukkan.
Semakin lama pikirannya tak mampu berkonsentrasi,
bayangan itu hadir kembali. Akibat kecewa pada takdir,
ia telah memilih. Keputusannya bulat meninggalkan kelas,
bangku, absen, dosen dan kawan sepermainannya.
Ia kalut, mengamuk. di bantingnya sahabat karibnya ke sudut ruangan.
"Aku sudah cukup muak! I am done. "
Di koordinat lain di permukaan bumi,
Seseorang tengah berbaring di atas ayaman tikar bambu
yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun.
Tikar itu tidak pernah diganti. Wangi bambunya telah
menguap tergantikan dengan aroma keringat yang telah mengering.
Kedua tangannya memangku kepala menggantikan fungsi bantal.
Pandangannya lurus ke langit-langit bilik. Dia hanya melepas lelah,
tidak benar-benar terlelap, tentu saja. Mana mungkin ia bisa
tidur sementara lima belas menit lagi adalah gilirannya pegang stir.
Belum lagi badai laut malam itu membuat isi perutnya ikut
terombang ambing bersama muatan lain dalam kapal.
Hari itu ia merasa telah bekerja maksimal.
Kelelahan yang selama ini ditahannya sudah meluap.
Tenaganya terkuras habis, tidak ada sisa untuk membangun
bendungan menahan luapan kekecewaan pada takdir.
Matanya beralih menatap jendela kecil di sisi kapal.
Laut bisa terlihat dari sana,
"Aku lelah. Aku akan mengakhiri semuanya hari ini!"
-------------------------------------------------------------------
Cerita ini hanya imajinasiku. Betapa banyak umat di dunia ini yang diberikan kesempatan menuntut ilmu, tapi membuang kesempatan itu hanya karena merasa tidak ada satu keuntungan pun yang ia peroleh dalam petualangan ilmunya. Semangat dalam dirinya ia campakkan sia-sia. Ilmu itu, sekecil apapun ia, tidak mungkin tidak penting. Ilmu itu sesederhana apapun ia, selalu memberi berkah. Kalau lah ada ilmu hitam, perlu juga diketahui semata-mata untuk mencari penangkalnya seperti Qul! A'udzu bi Rabbi Lfalaq, min syarri maa khalaq...
Betapa banyak umat yang iri pada orang-orang yang diberi kesempatan menuntut ilmu, sementara mereka hanya bermodal fisik, tak ada sanak saudara, tak pula berbiaya. Mereka hidup karena mengingat perut. Semangat berapi-api untuk menuntut ilmu, dengan sangat terpaksa mereka biarkan redup. Cahaya itu lemah hingga akhirnya tanpa diterpa angin pun ia telah padam lebih dulu. Berpikir positif. Yakinlah, Dzat yang segala kebaikan bersumber dari-Nya tak mungkin menetapkan keburukan pada hambanya. Bukankah tidak ada yang akan hilang atau merugi jika berpikir positif melainkan diperoleh ketentraman dan ketenangan hati? seperti Wa maa kaana Allahu liyudhii'a imanakum, Ujiibu da'wata ddaa'i idza da'an...
~ Dan, semua bermuara pada bagaimana rasa syukur yang mampu dihadirkan dan ditunjukkan oleh seorang hamba terhadap tetapan Khaliknya.
Tidak ada komentar: