Tamparan itu Pelajaran
Bismillah,
Kemarin aku mengikuti Musabaqah Quran. Rasa di hati ini campur aduk antara ikut atau tidak. Sudah seminggu publikasi pendaftaran peserta musabaqah dibuka. Aku masih berusaha mencari alasan yang tepat bagi diriku sendiri agar aku tidak ikut musabaqah ini. Selalu saja, bahkan dulu ketika di madrasah pun, jika ustadzah menawarkanku untuk ikut musabaqah, aku lebih cenderung tersenyum dan menggeleng. Aku tidak siap. Walau apapun nasehat yang beliau berikan, aku tetap menggeleng. Saat ini pun begitu, hatiku berat untuk ikut. Padahal aku tahu bahwa musabaqah itu adalah salah satu kegiatan yang "aku" butuhkan. Sayang, tidak ada alasan yang cukup baik sebagai hujjah untuk menolak ikut musabaqah, yang selalu terngiang di benak adalah aku rindu masa itu. Aku rindu pada Nya yang mulia, yang syairnya menentramkan jiwa. Aku butuh men-charge kembali ruh yang kini dehidrasi sebelum akhirnya benar-benar mati gersang kering kerontang. Hingga bisikan demi bisikan menuntunku untuk ikut ditambah lagi jika berhasil lolos pada tahap seleksi kampus aku bisa pulang. Ya, akhirnya aku ikut musabaqah ini.
Pada lomba cerdas cermat, diberikan syair Quran yang dulu pernah akrab denganku. Aku mencoba menjawab pertanyaan itu dan mengulang kembali memori yang telah lalu, tapi aku gagal. Lidahku terpeleset. Entah bagaimana bisa ia menyebutkan sesuatu yang tidak aku pikirkan. Ia menyampaikan kata yang salah, redaksi Quran yang tersampaikan berubah. Ini tidak hanya sekali tapi beberapa kali pada pertanyaan yang serupa bentuknya, menyambung ayat. Kenapa harus ayat?
Setelah itu, ada lomba lain yang juga aku ikuti. Lomba yang mesyaratkan hafalan lebih dari satu juz. Ini yang dari awal aku berat, tapi aku harus. Aku harus mencari motivasi dan lomba ini yang bisa memberikannya. Tapi, ketika di ruangan, aku duduk di kursi, jantungku berdegup kencang. Juri memberikan soal pertama dan pikiranku serasa tidak ada lagi di tubuhku. Aku tahu sambungannya tapi lidahku kelu. Semenit kemudian, aku berubah menjadi manusia pengecut. Aku memilih mundur, memohon maaf pada juri dan panitia. Aku bergegas keluar ruangan dan tangisku pecah. Aku benar-benar merasa bersalah. Seperti ditampar oleh pertanyaan "Di mana tanggung jawabmu sebagai penjaga Quran?"
Lebih amat sangat menyakitkan daripada mendapatkan nilai jelek ketika ujian. Sebenarnya, kedua hal ini pun tidak dapat dibandingkan.
Aku tidak hanya menerima motivasi. Aku mendapatkan banyak hal lebih dari yang kuharapkan. Ada hikmah, pelajaran, teguran, peringatan dari Rabb. Mungkin jika ini tidak terjadi, entahlah. A'udzubillah...
Sebenarnya yang butuh didakwahi itu adalah diri kita sendiri. Ketika menulis post ini pun, rasanya seperti membuka aib pribadi. Tapi aku berharap agar hikmahnya tersampaikan.
Istiqamahlah, istiqamahlah, istiqamahlah...
Rabb mencintai amalan yang sedikit tapi kontinu.
Sesibuk apapun, sesudah shalat sempatkan untuk muraja'ah atau ziyadah hafalan walau 1 ayat. Bismillah, Semangat turun, Semangat Lagi...
Semoga Allah meneguhkan kita di jalan-Nya...
Semoga Allah meneguhkan kita di jalan-Nya...
Tidak ada komentar: