Ibu Berhati Emas
Pagi ini Rara benar-benar terbang. Bukan hanya
raganya yang tidak berpijak ke bumi, tapi juga hatinya. Selama dalam
perjalanan, Rara berusaha tetap tenang dengan menatap jendela di sampingnya. Dia
tidak mau teman-temannya, yang juga berada dalam pesawat ini mengernyitkan dahi
kepadanya hanya karna tiba-tiba Rara berteriak kegirangan. Namun, mata memang
sulit untuk berdusta. Setenang apa pun Rara, matanya tetap berbinar-binar
seakan bercerita pada awan yang masih biru itu. Ya, saat Rara berangkat jam
masih menunjukkan pukul 04.00 WIB. Rara dan rombongan memang sengaja mengambil
penerbangan subuh agar memudahkan para ayah dan ibu mengantarkan anak-anak
mereka ke bandara.
Mungkin teman-teman satu pesawat Rara juga senang,
tapi tidak seperti senang yang Rara rasakan. Ini kali pertama bagi Rara keluar
negeri, berbeda dengan teman-teman lain yang sudah berpengalaman mengikuti
lomba-lomba internasional dan terbiasa melakukan perjalanan antar negara. Rara
menjadi satu-satunya siswi SMA yang mewakili Indonesia dalam IMO (International
Mathematics Olympiad) di Hongkong. Setelah mengikuti proses pelatihan yang
super padat, ini adalah saatnya bertarung.
Semua kebahagiaan dan berbagai ucapan syukur pada
Yang Mahakuasa ia luapkan kepada awan. Seakan memberi respon terhadap semua
cerita Rara, awan yang tadi biru bergumpal-gumpal bergerak perlahan membuka
celah bagi matahari untuk tampil bagai tirai panggung yang terbuka untuk pemain
drama. Benar-benar indah, Subhanallah!
Gumam Rara dalam hati. Kehangatan mentari pagi itu mampu menembus celah hati
Rara, dia hangat seperti kehangatan ibu…
“Rara, tugas dari sekolah sudah selesai dikerjakan?”
Rara dapat mendengar dengan jelas teriakan ibunya yang sedang mencuci piring bekas
makan malam di dapur, tapi dia tidak tahu harus menjawab apa. Sejak tadi Rara
hanya duduk di depan televisi bersama meja tulis kecil Winnie the Pooh kesayangannya tanpa melakukan apa pun, kecuali
menggenggam pensil dengan kuat. Tidak lama kemudian ibu mendatangi Rara,
“Mana hasil tugas sebelumnya? Biar Ibu lihat,” ibu
membuka sebuah buku tulis kotak-kotak milik Rara. Agak kaget juga ibu mendapati
nilai pekerjaan rumah Rara hanya bernilai 3 dari skala 10. Jarang sekali
pekerjaan rumah Rara mendapatkan nilai sekecil itu, bahkan mungkin tidak pernah
karna biasanya ibu selalu membantu Rara mengerjakan pekerjaan rumahnya. Kalau
pun ibu tidak sempat, ayah atau kak Sisi lah yang akan membantu Rara
mengerjakannya. Akan tetapi, untuk kali ini ibu sama sekali tidak tahu bahwa Rara
diberikan tugas itu.
“Ini tugas kemarin?” tanya ibu yang dijawab melalui anggukan kecil dari
Rara.
“Kenapa tidak bilang pada Ibu kalau kemarin Rara
diberi tugas dari sekolah?” Rara hanya diam. Sebenarnya dia lupa ada tugas yang
diberikan guru hari itu dan baru ingat ketika sampai di kelas keesokan harinya.
Rara tidak ingin mencontek. Jadi, dia memutuskan untuk mengerjakan tugasnya
sendiri, padahal Rara sama sekali tidak mengerti apa yang dia kerjakan. Tugas
itu adalah tugas matematika tentang pembagian. Soal-soal yang diberikan juga
mudah untuk anak-anak setingkat Rara yang sedang duduk di bangku kelas tiga 3
SD. Namun, Rara tidak bisa memahami materi ini sedikit pun. Dalam kepalanya
berputar-putar pertanyaan, Kenapa
pembagian harus digabungkan dengan perkalian dan pengurangan? Kenapa harus
begitu? Hatinya menolak penjelasan guru saat menerangkan pelajaran di papan
tulis.
“Apa yang tidak Rara mengerti, Nak? Mari Ibu bantu,”
Rara tetap diam.
“Coba kerjakan yang mudah dahulu, dua dibagi satu.
Tulis di sini!” ucap ibu sambil menyodorkan kertas HVS kosong pada Rara. Rara
menuliskan angka dua, titik dua, dan angka satu perlahan.
“Berapa hasilnya?” pertanyaan ibu tak juga membuat
Rara bicara. Beliau mengambil salah satu pensil dan menuliskan angka dua yang
berada di bawah tanda seperti atap rumah tak utuh, kemudian menuliskan angka
satu di luar tanda itu, sedangkan tanda sama-dengan dituliskan di sebelah angka
dua tetapi di luar tanda “atap rumah” tadi. Apa
itu? Bukankah tanda bagi itu dituliskan dengan tanda titik dua seperti dalam
buku? Mungkin Ibu salah, batin
Rara.
“Dua dibagi satu sama-dengan?” kata ibu sambil
menunjuk angka dua dan satu yang telah ditulisnya sambil mendikte Rara bahwa
hasilnya adalah dua. Ibu menjelaskan bahwa setelah tanda sama-dengan kita
meletakkan hasil pembagian, sedangkan di bawah angka dalam “atap rumah” tadi kita
lakukan proses pengurangan. Jika setelah dikurang-kurangkan akhir pengurangan
diperoleh nol itu artinya pembagian yang kita lakukan telah selesai. Penjelasan
Ibu disertai contoh dua dibagi satu. Beliau meletakkan angka dua setelah tanda
sama-dengan dan di bawah angka dua, yang dibagi, menuliskan garis agak panjang
disertai tanda kurang sampai menuliskan angka nol sebagai penutup.
Namun, Rara tidak juga memahami tiap goresan tangan
ibu. Saat ibu bertanya apakah Rara sudah mengerti, Rara menggeleng lagi.
Matanya berair. Ibu mengulang penjelasannya dengan sabar hingga lebih dari 10
kali pada persoalan yang sama. Dua dibagi satu. Rara berusaha fokus tapi dia
tidak berhasil. Apalagi ketika jam menunjukkan pukul setengah sebelas, ayah dan
kakaknya memutuskan untuk tidur lebih dulu agar Rara bisa berkonsentrasi. Rara
semakin gelisah, dia sangat lelah dan mulai mengantuk.
“Bu, Rara mengantuk,” ucap Rara sambil menangis.
“Rara mau jadi anak pintar? Mau Ibu ajarkan?” Rara
yang masih menangis itu hanya menganggukkan kepala tanda mau. “Kalau begitu
selesaikan seluruh tugas ini dahulu!” tegas ibu. Rara kembali menggenggam
pensilnya dengan kuat. Tangannya gemetaran menulis di atas kertas akibat
menahan tangis. Setelah satu kali penjelasan ibu, dia bisa menuliskan sendiri
proses pembagian dua dibagi satu karena Rara menghafalkan urutannya. Ketika ibu
meminta Rara mengerjakan soal empat dibagi dua, dia menangis lagi karena memang
tidak mengerti.
“Ayo Nak, kerjakan seperti Ibu mengerjakannya tadi,”
“Ibu, Rara mau tidur,” tangis Rara pecah.
“Tidak boleh! Selesaikan dahulu tugas ini baru boleh
tidur,” Saat itu Rara merasa bahwa ibu amat jahat. Dia ingin tidur, tapi tidak
boleh. Ibu meminta Rara berkonsentrasi kembali setelah menyeka air mata anak
bungsunya itu. Ternyata Rara merajuk, ia tidak mau menuliskan apa pun. Ibu
memegang tangan Rara, membimbingnya menuliskan empat dibagi dua. Cara yang
dilakukan Ibu persis seperti soal pertama, angkanya pun nyaris sama. Rara tetap
diam menahan isak tangis. Ibu beranjak dari tempat duduknya, menuju kamar mandi
dan berwudhu. Sudah pukul satu dini hari. Kurang dari setengah jam ibu kembali,
beliau mendekati Rara kemudian mengusap kepala dan dada anak yang disayanginya
itu.
“Bukakanlah hati dan pikiran anakku untuk menerima
ilmu-Mu Ya Allah,” setelah mengucapkan itu ibu menyuruh Rara berwudhu dengan
baik dan dilanjutkan shalat Tahajud. Rara berdiri dan mengingat kembali apa
yang dilakukan ibu barusan. Ia tidak mampu menerjemahkan perilaku dan doa itu,
tapi sekarang Rara merasa lebih tenang. Setelah shalat Rara kembali ke meja
tulis.
“Rara mau tidur, Nak?”
“Iya, Bu”
“Tidurlah,” ibu menawarkan sambil tersenyum.
“Sebentar lagi saja, Bu. Bantu Rara menyelesaikan
tugas matematika ini, ya?” Ada ketulusan dan permohonan yang tersirat dalam
kalimat Rara. Ibu yang mendengarnya hanya tersenyum sambil mengusap pipi Rara
dengan kedua tangannya. Entah bagaimana menggambarkan rasa cinta itu pada
anaknya. Yah, seorang ibu selalu ingin anaknya bahagia dan berhasil, itu saja.
Ibu menjelaskan lagi dari awal. Beliau berkata bahwa
pembagian itu tidak bisa sendiri, ia juga butuh teman karena itulah ada
perkalian dan pengurangan di dekatnya. Seperti Rara yang tidak bisa hidup
sendiri, bahkan Rara membutuhkan banyak orang di samping Rara. Ada ibu, ayah, kakak,
teman sekolah, teman bermain, abang penjual es krim dan yang lainnya. Benar juga, pikirnya. Rara tidak bisa
membayangkan jika dia hidup sendiri. Bagaimana kalau tidak ada ayah? Rara
mungkin tidak akan mendapatkan uang jajan. Bagaimana kalau tidak ada ibu? Dia
mungkin tidak bisa menikmati mie goreng paling enak buatan ibu. Kalau tidak ada
ibu, Rara juga mungkin tidak ada. Pikiran anak umur 8 tahun, sederhana, tapi
bisa menggambarkan betapa berartinya ibu. Perlahan Rara mengerti.
Semangatnya bangkit kembali setelah sejenak
merenung. Ia mulai mengerjakan soal-soal lain mengikuti cara yang diajarkan
oleh ibu tadi. Hingga akhirnya selesailah tugas Matematika Rara pada pukul 3
subuh. Dia tertidur di atas meja belajarnya masih dengan mata bengkak, tapi dengan
bibir yang tersenyum. Ibu mengendong Rara ke kamar, dalam hatinya beliau
berpesan Lakukanlah yang terbaik, Nak!...
Tanpa terasa Rara telah tiba di Hongkong.
Pemandangan yang baru bagi Rara melihat orang-orang di sekelilingnya bermata
sipit dan berbicara dalam bahasa yang tidak
ia mengerti. This is a new
adventure, Lets enjoy this! Gumamnya menirukan aksen khas pemain Hollywood.
Bersama rombongan dari Indonesia, Rara menuju tempat penginapan yang telah
dipersiapkan oleh panitia Olimpiade. Berbagai remaja cerdas yang dia temui
membuat api semangat Rara sedikit menciut. Beberapa detik kemudian Rara
tersadar bahwa yang harus dilakukannya adalah berusaha yang terbaik. Jangan
memberikan kesempatan pada semangat untuk menurun. Biarkan api semangat itu
tumbuh lebih besar daripada ketakutan yang ia rasakan saat ini. Tidak ada
pilihan lain selain mempersembahkan yang terbaik.
Malam itu Rara tidak belajar, dia beristirahat total
bersama teman-temannya. Menenangkan pikiran dan hati dengan shalat, tilawah,
dzikir, apa pun yang membuatnya merasa lebih baik. Bertawakal terlebih dahulu,
meyakinkan segala urusan besok pada Allah SWT Sang Pemilik ilmu baru kemudian
berusaha di medan pertempuran. Besok pagi mungkin akan menjadi hari yang berat
untuknya.
Dalam ruangan megah itu telah duduk beberapa orang
juri dari perguruan tinggi ternama di dunia. Sekeliling ruangan juga diisi oleh
para ilmuan, mahasiswa, anak sekolah sampai masyarakat biasa yang haus akan
ilmu. Sementara itu, Rara duduk bersama peserta lainnya di hadapan para juri.
Berbagai soal penyisihan dan semi-final terselesaikan dengan lancar. Tibalah
saatnya babak final. Hanya dua orang berhasil lolos ke babak ini, mereka adalah
Rara dan satu orang lagi siswa setingkat SMA kelas 3 dari Jepang bernama
Shizuki Aoi. Tersedia lima soal tertutup di hadapan juri. Peserta akan diminta
mengambil salah satu soal kemudian menyelesaikan solusi persoalan di papan tulis di depan seluruh penonton secara
langsung.
Empat soal telah dijawab oleh Rara dan Aoi. Soal
terakhir menjadi soal rebutan. Secara perlahan dan jelas salah seorang juri
membacakan soal, dengan seksama Rara ikuti alurnya. Sekitar nol koma satu detik,
cepat sekali, rentang waktu dari juri tersebut selesai membacakan soal, Aoi
telah menekan tombol tanda bersedia menjawab. Wajah Rara tenang tanpa senyum
dan hanya mengamati. Bagaimanapun Rara sebenarnya resah karena di balik meja,
tangannya sudah berkeringat dingin, tapi ia coba menutupi rasa itu dengan
ekspresi datar wajahnya. Rara memohon izin ke toilet untuk berwudhu. Saat
kembali dari toilet ternyata Aoi masih berdiri menyelesaikan soal.
“I’m sorry
Shizuki Aoi, you make some mistake. This is a chance for you Rahma Alfina, do
you want to got it or pass?” Salah seorang juri menawarkan kesempatan pada
Rara.
“I want to try
it, Sir…” Jawab Rara sambil memegang microphone
erat.
Rara maju menuju papan tulis. Ia mencoba mengamati
apa yang salah dari karya panjang Aoi, padahal jawabannya telah menghabiskan
dua papan tulis. Rara masih bingung, ia terdiam cukup lama karna tidak memiliki
gambaran tentang apa yang harus ia betulkan. Rara ingat hal ini. Dulu ia juga
pernah terdiam seperti sekarang. Tanpa dikomando, tangan Rara bergerak mengusap
kepala dan dadanya. Bukakanlah hati dan
pikiranku untuk menerima ilmu-Mu Ya Allah, gumam Rara. Huruf-huruf,
angka-angka dan berbagai tanda semuanya berputar-putar dalam imajinasi Rara
seolah mencoba membentuk susunan yang teratur. Ia mendapatkannya. Rara
mengganti angka satu menjadi angka 2, kemudian memperbaiki sedikit prosesnya.
“Ok, could you
explain that to us?” Salah seorang juri berkata.
“Of course,
Sir… I think that I don’t do anything for this because its just a little
mistake. In this problem we should have to use two as base because the probability of…”
Kalimat-kalimat lugas dan sederhana namun mantap mengalir dari lisan Rara. Standing Applause yang meriah dari
seluruh penjuru ruangan diberikan untuk Rara. Teman-temannya berhamburan
memeluk Rara. Satu per satu juri memberikan mendali pada sang juara, Rara
mendapatkan mendali emas dan berbagai pernghargaan. Moment saat juri
mengalungkan mendali itu di leher Rara, membuatnya tak kuasa menahan tangis.
Rasa bahagia telah lebur bersama air mata haru yang jatuh membasahi bumi.
Rara menatap mendali itu lekat-lekat. Jemarinya
mengusap tiap bagian mendali itu dengan detail. Tulisannya, gambarnya,
lekukannya dipelajarinya sungguh-sungguh. Sekarang yang ada dalam pikirannya
adalah cepat-cepat pulang dan tidur dalam pangkuan ibu.
Ibu, dialah
ibuku…
Ibu yang terlalu
banyak mengorbankan waktunya untukku
Menyusuiku, mengganti
popokku, memandikanku,
Semua Ibu
lakukan bukan hanya karna aku adalah titipan-Nya
Tapi juga karna
cintamu padaku
Saat Ibu tidak
membiarkanku tidur, itu bukan karna Ibu jahat
Tapi Ibu ingin
agar aku mengerti, dan tidak ingin aku menyesal di kemudian hari
Saat aku
menangis memohon untuk tidur
Ibu menangis
memohon pada Allah agar aku dikaruniakan ilmu yang barokah
Ketika aku marah
keinginanku tidak terkabul
Ibu memarahiku
agar aku menjadi anak shalih yang santun akhlaknya
Ibu, Setiap
belaianmu adalah semangat untukku
Nasihatmu adalah
harta berharga bagiku
Doamu merupakan
teman setiaku bagai mentari yang senantiasa menyapa pagi
Bu, Aku tahu
Allah memuliakanmu
Aku paham Rasul
menjadikanmu tiang negara dan mengangkat derajatmu
Sekarang katakanlah,
Bu, bagaimana caraku untuk memuliakanmu?
Kata-kata ini mengalir begitu saja dari hati kecil
Rara, membuatnya meneteskan air mata. Harusnya mendali ini untuk ibu. Ibu pahlawan
cantik berhati mulia. Saat ini Rara benar-benar merindukan ibu. Ketika tiba di
rumah nanti mendali ini akan ia kalungkan pada ibu. Yah, emas di dada ibu memang
cocok untuk ibu berhati emas.
Tidak ada komentar: