Reset

 Bismillah,


Sewaktu di pondok dulu, saya pernah mendengar sebuah quotes dari kisah-kisah inspiratif yang diperdengarkan ba'da subuh menjelang sekolah, bahwa

Untuk menjadi mulia, lakukanlah hal yang hina

Nasehat ini benar-benar menyentuh saya hingga tertanam di dada sampai saat ini. Hina di sini maknanya bukan dalam arti maksiat, tapi sesuatu yang dipandang rendah oleh manusia. Mari kita berandai-andai nyata (bukan sekedar angan kosong minim makna). Mungkinkah jika suatu hari kita berangkat dari rumah membawa sikat dan sabun hanya untuk membersihkan toilet umum? Mungkinkah bahkan walau dengan kapabilitas ilmu dan materi yang kita miliki saat ini kita menyapu jalanan di tengah terik sejak pagi hingga petang? Apakah jika kemampuan kita sudah sekelas mandor kita akan rela menjadi kuli bangunan, bukan untuk rumah sendiri, tapi untuk rumah orang lain? Dan di setiap pilihan tadi kita bisa saja menerima upah atas itu.


Sebab kemampuan kita saat ini, mungkin kita akan berpikir tidak akan menerimanya. Kita melakukannya sesekali untuk kembali "mereset" diri. Menyadari bahwa apa yang kita miliki saat ini sebelumnya adalah sebuah variabel bernilai nil, bukan nol tapi nil. Kita tidak memiliki semua itu sebelumnya. Kita mengupayakan dengan cara kita, dengan keringat dan darah kita. Kita? 


Bukan! Itu bukan dari kita. Tapi itu sebab Allah Maha Kuasa yang meridhoinya. Suatu yang semula bernilai nil bisa menjadi nol dengan kita yang tumbuh secara fisik, hei! Bahkan kita belum mengerti bagaimana cara menyapu atau membersihkan toilet, kita belum mampu kan dulu? Lalu dengan sampainya kita di titik baligh, Allah menghendaki nilai nol pada kita. Agar kita bisa belajar untuk belajar. Awalnya kemampuan kita hanya pada membersihkan toilet. Hingga kita sampai pada kemampuan design dan membangun toilet yang orang-orang definisikan dengan konsep interior tertentu sehingga bernilai besar dan berharga kemampuan itu. Awalnya kita hanya mampu menyapu jalan, tapi qadarullah menuntun kita mampu membangun jalan, proyek dengan nilai fantastis. Semua itu dengan ilmu. Ilmu yang Allah jadikan ia hak atas setiap muslim di muka bumi. Ilmu yang merupakan butir-butir kecil dari mutiara tanda Kebesaran Allah.


Lantas, kita mengatakan ilmu itu milik kita sebab sampainya kita di titik ini adalah sebab keringat kita? Seolah lupa bagaimana mengagumkannya Allah memampukan kita. Merasa mulia telah berpunya, enggan menyentuh kembali suatu yang rendah di mata manusia. 

Reset. Kalau kita senantiasa mereset secara maknawi terhadap apa yang kita punya hari ini? Niscaya, kita menjadi hamba yang selalu memperbarui rasa syukur juga kan? 

Ayo!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.