Peduli
Bismillah,
Tulisan ini ber-label curhat sebetulnya. Boleh disekip atau ikut pusing. Silakan.
Beberapa hari lalu seorang adik, yang baru icip-icip di kampus ini sekitar 3 bulan lebih, bercerita kepada saya bahwa ada temannya yang sedang, ehm.. mempertanyakan keyakinannya. Mari kita labeli si adik sebagai A dan temannya sebagai T.
Ada dua aktor turunan dari T, yaitu TT didefinisikan sebagai teman dekat T yang beda keyakinan, dan KT sebagai kakak "mentor" TT yang sering main ke TT dan menjadikan T ikutan kecipratan karena juga sering main ke TT. Jadi bareng. T dikasi hadiah buku panduan juga dari KT. Hem.
Jadilah si adik panik gegara dikasi pertanyaan berat (katanya-yang dilengkapi dengan ungkapan "Baru tahu teh, kalau dunia kampus itu begini hiks.."). Minta tolong ke saya dengan redaksi lebih kurang begini, "Bisa ngga teh aku minta tolong ke teteh buat ke kos aku trus ceramahin temen aku"
Hahaha, lucu ya. Ceramah banget nih? Ulala~
Di sekolah dulu, ustadz yang mengajarkan matpel Tauhid (matpel pondok, bukunya arab gundul) dan Aqidah akhlak (matpel madrasah aliyah, bukunya Bahasa Indonesia) sering melakukan simulasi soal ini. Saya selalu tertarik dengan kasus-kasus yang beliau angkat. Yah, walau kebanyakan kami menyerah dan menunggu jawaban tepat untuk setiap pertanyaan. Siapa pula di pondok yang mempertanyakan keyakinannya. Lingkungan homogen, tidak ada yang aneh-aneh lah.
Di kampus, yep. Lingkungan heterogen. Walau saya sendiri tidak pernah sama sekali ditanya aneh-aneh oleh banyak orang yang menghidupkan pertanyaan itu di pikirannya. Pertanyaan itu tidak pernah mendarat di saya secara langsung oleh sumbernya. Hem, padahal kalau langsung ditanya, pertanyaan itu semacam trigger yang mengaktifkan tower defense saya #eaa :))
Pernahnya saya ditanya oleh yang ditanya juga #nahloh
Okey, saya tidak berniat membahas pertanyaan-pertanyaan itu di sini.
Mari kita bahas soal T, sebab ia menjadi lebih condong pada yang lain dan bukan pada tempat dia berada saat ini; Islam :(
Sebelumnya, Alhamdulillah! Atas apa yang kita dapatkan hingga hari ini.
Ada banyak orang di luar sana yang tidak lebih beruntung seperti kita. Mendapatkan pendidikan yang layak, mempelajari agama dengan baik, diajarkan shalat, mengaji Al-Quran, dan berpuasa ramadhan. Padahal kita sama-sama umat dari agama ini. Mereka dilahirkan dari keluarga heterogen lintas keyakinan, yang mungkin alfa soal dampak perbedaan keyakinan ini untuk keturunannya. T adalah salah satunya.
Hari itu, diceritakan begini oleh A, saya merasa peduli. Jangan di hadapan saya. Kalau sudah di depan saya, harus ada yang dapat saya lakukan. Saya menawarkan pertemuan langsung, yuk diluruskan bareng-bareng. Bismillah
Tap tap tap tapi...
Sebelum pertemuan itu terealisasi dan tanpa saya bicara apa-apa selain menawarkan pertemuan, A menyampaikan aspirasi T kepada saya kira-kira isinya,
"A, tapi aku ngga mau kalau didatengin teteh kamu trus maksa-maksa aku"
Maak! Jleb #1
"A, kalau teteh kamu yang ke sini aku mau. Tapi kalau aku yang ke sana gamau ah mager"
Maak! Jleb #2
Jadilah saya cukupkan dengan minta tolong A sampaikan ke T, laa ikraha fi ddiin Al-Baqarah 256.
:-)
Bicara soal diri sendiri.
Saya suka gemes kalau ketemu pertanyaan begini sebenernya. Awal-awal ditanyakan dulu emosi saya masih meluap-luap. Saya bisa ngetik atau menjawab panjang lebar untuk ini. Heran, mengapa orang-orang bisa tunduk diminta macem-macem oleh dosen sementara tidak berlaku sama terhadap Rabb. Padahal, ada banyak -padahal- yang bisa saya gunakan untuk menjabarkan kondisinya, huft.
Tapi, pertanyaan A kemarin membuat saya menyadari sesuatu.
Mengubah respon saya ketika dipertemukan dengan kasus serupa ini.
Lebih banyak merenung. Lebih banyak bertasbih, lebih banyak bersyukur
Atas segala kesempatan dan hidayah Allah hingga detik ini.
Benar-benar menyadari urusan ketauhidan ini amat sensitif dan mendasar.
Ia hanya berjalan di atas iman yang benar dan utuh.
Keyakinan yang meruntuhkan keraguan, menjauhkan rasa enggan, mentaati tanpa penolakan.
Ia turun kepada pikiran dengan pemahaman yang matang, hati yang ingin dengan kesadaran yang penuh untuk menjadi abdullah.
Bagaimana hidayah datang kepadamu sementara kamu telah menolak sebelum ia sempat menyapa?
Lalu, pertanyaan yang masih bimbang dalam pikiran saya
Haruskah saya peduli pada T? Lantas bagaimana? #smirk #meringis
Seketika teringat, bagaimana kesabaran dan langkah yang teguh menghiasi dakwah Rasulullah 14 abad silam. Menakjubkan, buahnya menjadi rahmat kehidupan kita hingga detik nafas ini.
Allahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaih
Tulisan ini ber-label curhat sebetulnya. Boleh disekip atau ikut pusing. Silakan.
Beberapa hari lalu seorang adik, yang baru icip-icip di kampus ini sekitar 3 bulan lebih, bercerita kepada saya bahwa ada temannya yang sedang, ehm.. mempertanyakan keyakinannya. Mari kita labeli si adik sebagai A dan temannya sebagai T.
Ada dua aktor turunan dari T, yaitu TT didefinisikan sebagai teman dekat T yang beda keyakinan, dan KT sebagai kakak "mentor" TT yang sering main ke TT dan menjadikan T ikutan kecipratan karena juga sering main ke TT. Jadi bareng. T dikasi hadiah buku panduan juga dari KT. Hem.
Jadilah si adik panik gegara dikasi pertanyaan berat (katanya-yang dilengkapi dengan ungkapan "Baru tahu teh, kalau dunia kampus itu begini hiks.."). Minta tolong ke saya dengan redaksi lebih kurang begini, "Bisa ngga teh aku minta tolong ke teteh buat ke kos aku trus ceramahin temen aku"
Hahaha, lucu ya. Ceramah banget nih? Ulala~
Di sekolah dulu, ustadz yang mengajarkan matpel Tauhid (matpel pondok, bukunya arab gundul) dan Aqidah akhlak (matpel madrasah aliyah, bukunya Bahasa Indonesia) sering melakukan simulasi soal ini. Saya selalu tertarik dengan kasus-kasus yang beliau angkat. Yah, walau kebanyakan kami menyerah dan menunggu jawaban tepat untuk setiap pertanyaan. Siapa pula di pondok yang mempertanyakan keyakinannya. Lingkungan homogen, tidak ada yang aneh-aneh lah.
Di kampus, yep. Lingkungan heterogen. Walau saya sendiri tidak pernah sama sekali ditanya aneh-aneh oleh banyak orang yang menghidupkan pertanyaan itu di pikirannya. Pertanyaan itu tidak pernah mendarat di saya secara langsung oleh sumbernya. Hem, padahal kalau langsung ditanya, pertanyaan itu semacam trigger yang mengaktifkan tower defense saya #eaa :))
Pernahnya saya ditanya oleh yang ditanya juga #nahloh
Okey, saya tidak berniat membahas pertanyaan-pertanyaan itu di sini.
Mari kita bahas soal T, sebab ia menjadi lebih condong pada yang lain dan bukan pada tempat dia berada saat ini; Islam :(
Sebelumnya, Alhamdulillah! Atas apa yang kita dapatkan hingga hari ini.
Ada banyak orang di luar sana yang tidak lebih beruntung seperti kita. Mendapatkan pendidikan yang layak, mempelajari agama dengan baik, diajarkan shalat, mengaji Al-Quran, dan berpuasa ramadhan. Padahal kita sama-sama umat dari agama ini. Mereka dilahirkan dari keluarga heterogen lintas keyakinan, yang mungkin alfa soal dampak perbedaan keyakinan ini untuk keturunannya. T adalah salah satunya.
Hari itu, diceritakan begini oleh A, saya merasa peduli. Jangan di hadapan saya. Kalau sudah di depan saya, harus ada yang dapat saya lakukan. Saya menawarkan pertemuan langsung, yuk diluruskan bareng-bareng. Bismillah
Tap tap tap tapi...
Sebelum pertemuan itu terealisasi dan tanpa saya bicara apa-apa selain menawarkan pertemuan, A menyampaikan aspirasi T kepada saya kira-kira isinya,
"A, tapi aku ngga mau kalau didatengin teteh kamu trus maksa-maksa aku"
Maak! Jleb #1
"A, kalau teteh kamu yang ke sini aku mau. Tapi kalau aku yang ke sana gamau ah mager"
Maak! Jleb #2
Jadilah saya cukupkan dengan minta tolong A sampaikan ke T, laa ikraha fi ddiin Al-Baqarah 256.
:-)
Bicara soal diri sendiri.
Saya suka gemes kalau ketemu pertanyaan begini sebenernya. Awal-awal ditanyakan dulu emosi saya masih meluap-luap. Saya bisa ngetik atau menjawab panjang lebar untuk ini. Heran, mengapa orang-orang bisa tunduk diminta macem-macem oleh dosen sementara tidak berlaku sama terhadap Rabb. Padahal, ada banyak -padahal- yang bisa saya gunakan untuk menjabarkan kondisinya, huft.
Tapi, pertanyaan A kemarin membuat saya menyadari sesuatu.
Mengubah respon saya ketika dipertemukan dengan kasus serupa ini.
Lebih banyak merenung. Lebih banyak bertasbih, lebih banyak bersyukur
Atas segala kesempatan dan hidayah Allah hingga detik ini.
Benar-benar menyadari urusan ketauhidan ini amat sensitif dan mendasar.
Ia hanya berjalan di atas iman yang benar dan utuh.
Keyakinan yang meruntuhkan keraguan, menjauhkan rasa enggan, mentaati tanpa penolakan.
Ia turun kepada pikiran dengan pemahaman yang matang, hati yang ingin dengan kesadaran yang penuh untuk menjadi abdullah.
Bagaimana hidayah datang kepadamu sementara kamu telah menolak sebelum ia sempat menyapa?
Lalu, pertanyaan yang masih bimbang dalam pikiran saya
Haruskah saya peduli pada T? Lantas bagaimana? #smirk #meringis
Seketika teringat, bagaimana kesabaran dan langkah yang teguh menghiasi dakwah Rasulullah 14 abad silam. Menakjubkan, buahnya menjadi rahmat kehidupan kita hingga detik nafas ini.
Allahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaih
Tidak ada komentar: