Ema (2)
Bismillah...
Di parkiran sekolah seorang anak laki-laki sedang sibuk memeriksa sepedanya. Ia memastikan mesin kuno sederhana itu bekerja dengan baik dan ban sepedanya cukup angin untuk melaju membawa dua orang dalam jarak dua km. Dalam jarak pandang beberapa meter Ema menyusul, mendekati parkiran. Sebetulnya, pekerjaan check and re-check anak laki-laki itu telah selesai. Namun, begitu melihat Ema mendekat ke arahnya-Oke, biarkan dia senang dengan berpikir begitu, walau sadar bahwa Ema sesungguhnya sedang menuju sepedanya pula- anak laki-laki itu kembali khusyuk dengan sepedanya.
Kini Ema hanya berjarak 1 sepeda darinya. Anak laki-laki itu hendak membahas "kertas nyasar" di laci meja Ema, tapi urung melihat ketua kelas berlari ke arah mereka.
"Huft, sekali saja.." anak itu membatin.
"Ema, kamu bawa sepedanya dulu ya. Nanti ketika pulang biar aku yang bawa, Ema bantu membawa barang-barang..hehe" saran ketua kelas, yang terdengar seperti perintah.
"Siap!"
Aku?
Ema dan ketua kelas baru saja melewatiku. Sekilas Ema melambaikan tangannya padaku isyarat agar aku duluan, tidak perlu menunggunya daaan...tidak perlu menyusulnya. Ah Ema, tanpa begitu pun kali ini aku tidak akan menyusul lagi. Pernah suatu hari aku menyusul Ema yang sedang belanja bahan produknya. Barangnya banyak sekali! Dugaanku sebagiannya adalah barang titipan tetangga. Tanpa aba-aba dari Ema, aku membawa sebagian barang itu dan langsung mendayuh sepeda dengan cepat agar aku tiba lebih dulu di rumah Ema. Sampai di rumahnya, Ema tertawa saja dan berterima kasih. Tetapi, yang parah adalah setelah itu Ema mengatakan pada semua teman sekelas agar tidak meminta bantuannya di hadapanku. Khawatir aku direpotkan olehnya. Ckckck Ema, aku tidak habis pikir hanya bisa geleng-geleng kepala tidak mengerti.
Aku bertolak ke parkiran. Di sana ada seorang anak laki-laki sedang melamun menatap gerbang. Entah apa yang dilihatnya. Anak ini kalau aku tidak salah ingat, sering dipanggil oleh kawan-kawannya dengan sebutan Zam. Hemm, Azzam? Alzam? Nizam? Zamzam? Zamrud? Ah, peduli apa aku terhadapnya! Lebih baik pulang dan mengerjakan tugas.
Ema tiba di rumah menjelang maghrib. Aku hafal suara kayuhan sepeda Ema seperti aku hafal suara motor Ayah ketika ia pulang. Selang beberapa menit lampu rumah Ema kembali padam. Waktunya Ema mengajar. Aktivitas rutin itu akan selesai pukul delapan malam.
Sepulangnya Ema mengajar, aku baru saja hendak membuka pintu untuk menyusul ke rumah Ema, tapi urung. Kamu tahu kenapa? Aku mendengar suara sepatu mesin jahit dengan lincah mengaitkan benang-benang pada kain kanvas.
Emaaa!!!
- - - -
Di balik pos ronda yang tidak jauh dari kediaman kami, ada seseorang menumpu sepedanya dengan satu kaki sambil menggenggam kresek hitam. Mungkin petugas ronda malam...
Bersambung
Di parkiran sekolah seorang anak laki-laki sedang sibuk memeriksa sepedanya. Ia memastikan mesin kuno sederhana itu bekerja dengan baik dan ban sepedanya cukup angin untuk melaju membawa dua orang dalam jarak dua km. Dalam jarak pandang beberapa meter Ema menyusul, mendekati parkiran. Sebetulnya, pekerjaan check and re-check anak laki-laki itu telah selesai. Namun, begitu melihat Ema mendekat ke arahnya-Oke, biarkan dia senang dengan berpikir begitu, walau sadar bahwa Ema sesungguhnya sedang menuju sepedanya pula- anak laki-laki itu kembali khusyuk dengan sepedanya.
Kini Ema hanya berjarak 1 sepeda darinya. Anak laki-laki itu hendak membahas "kertas nyasar" di laci meja Ema, tapi urung melihat ketua kelas berlari ke arah mereka.
"Huft, sekali saja.." anak itu membatin.
"Ema, kamu bawa sepedanya dulu ya. Nanti ketika pulang biar aku yang bawa, Ema bantu membawa barang-barang..hehe" saran ketua kelas, yang terdengar seperti perintah.
"Siap!"
Aku?
Ema dan ketua kelas baru saja melewatiku. Sekilas Ema melambaikan tangannya padaku isyarat agar aku duluan, tidak perlu menunggunya daaan...tidak perlu menyusulnya. Ah Ema, tanpa begitu pun kali ini aku tidak akan menyusul lagi. Pernah suatu hari aku menyusul Ema yang sedang belanja bahan produknya. Barangnya banyak sekali! Dugaanku sebagiannya adalah barang titipan tetangga. Tanpa aba-aba dari Ema, aku membawa sebagian barang itu dan langsung mendayuh sepeda dengan cepat agar aku tiba lebih dulu di rumah Ema. Sampai di rumahnya, Ema tertawa saja dan berterima kasih. Tetapi, yang parah adalah setelah itu Ema mengatakan pada semua teman sekelas agar tidak meminta bantuannya di hadapanku. Khawatir aku direpotkan olehnya. Ckckck Ema, aku tidak habis pikir hanya bisa geleng-geleng kepala tidak mengerti.
Aku bertolak ke parkiran. Di sana ada seorang anak laki-laki sedang melamun menatap gerbang. Entah apa yang dilihatnya. Anak ini kalau aku tidak salah ingat, sering dipanggil oleh kawan-kawannya dengan sebutan Zam. Hemm, Azzam? Alzam? Nizam? Zamzam? Zamrud? Ah, peduli apa aku terhadapnya! Lebih baik pulang dan mengerjakan tugas.
Ema tiba di rumah menjelang maghrib. Aku hafal suara kayuhan sepeda Ema seperti aku hafal suara motor Ayah ketika ia pulang. Selang beberapa menit lampu rumah Ema kembali padam. Waktunya Ema mengajar. Aktivitas rutin itu akan selesai pukul delapan malam.
Sepulangnya Ema mengajar, aku baru saja hendak membuka pintu untuk menyusul ke rumah Ema, tapi urung. Kamu tahu kenapa? Aku mendengar suara sepatu mesin jahit dengan lincah mengaitkan benang-benang pada kain kanvas.
Emaaa!!!
- - - -
Di balik pos ronda yang tidak jauh dari kediaman kami, ada seseorang menumpu sepedanya dengan satu kaki sambil menggenggam kresek hitam. Mungkin petugas ronda malam...
Bersambung
Tidak ada komentar: