Ema
Bismillah,
"Ema, pulang sekolah sibuk tidak? Bisa temani aku ke pasar belanja perlengkapan kreasi kelas?"
"Tentu saja!"
Hufftt, lagi lagi. Bisa-bisanya dia tersenyum mengembang seperti itu. Yang aku tahu, Ema punya banyak tugas pribadi sebagai pengajar les, produsen totebag handmade, belum lagi pekerjaan rumahnya. Entah kapan tubuh kurus itu akan beristirahat.
Begitulah Ema. Perbuatan paling dibenci Ema di dunia ini adalah merepotkan orang lain. Anehnya, Ema begitu mencintai perasaan dan aktivitas "direpotkan". Aku tidak habis pikir dengan sahabatku ini. Bagaimana bisa seseorang mencintai yang dilakukannya tapi membenci yang orang lain lakukan terhadapnya. Sebaliknya, yang aku yakini kebanyakan orang tidak akan melakukan apa yang dibencinya. Logikanya
kamu tidak akan merepotkan orang lain karna kamu benci direpotkan, bukan? Atau..biasanya kamu santai saja minta tolong pada seseorang karena kamu senang juga jika dimintai tolong.
Sejak kecil, Ema tinggal sendiri. Orang tuanya pergi tanpa kabar, meninggalkan Ema di sebuah musholla di tengah pekampungan saat hujan sedang lebat-lebatnya. Ema yang waktu itu belum sekolah terus saja menunggu hingga ia tertidur. Suara adzan subuhlah yang membangunkan Ema. Kenyataan bahwa bapak maupun mak tidak menjemput Ema membuatnya menangis meraung-raung. Jelas saja itu mengganggu aktivitas shalat berjamaah. Setelah salam dan doa, seorang ustadz berjanggut putih serta sorban dengan warna tak jauh beda memangku dan menepuk-nepuk pelan punggung Ema. Beliaulah yang menjadi wali Ema selama tujuh tahun. Kakek membiayai kehidupan Ema hingga ia menamatkan sekolah dasar. Well, aku tahu beliau berjasa dalam hidup sahabatku ini. Akan tetapi yang aku tidak senang adalah pesan terakhirnya pada Ema, agar hidup mandiri. Huh, makanya Ema begitu sifatnya. Duh, kenapa aku jadi kesal begini.
Bel tanda jam pelajaran terakhir harus segera disudahi membuyarkan lamunanku tentang Ema.
"Ema, kita ngga pulang bareng dong?"
"Maaf ya Mil, iya. Aku harus nemani ketua kelas belanja" ucap Ema sambil tersenyum dan merapikan laci mejanya.
Tiba-tiba sebuah kertas berwarna biru bergambar karakter spiderman terjatuh. Ema membuka kertas itu penasaran. Dari hasil intipanku, di sana tertulis
Hanya itu.
"Beuuh, menawarkan bantuan tapi ngga jelas identitas pengirimnya. Ckckck niat ngga sih -_-" Aku menggerutu. Abai terhadap ekspresi Ema setelah membaca kalimat di kertas itu.
Bersambung
"Ema, pulang sekolah sibuk tidak? Bisa temani aku ke pasar belanja perlengkapan kreasi kelas?"
"Tentu saja!"
Hufftt, lagi lagi. Bisa-bisanya dia tersenyum mengembang seperti itu. Yang aku tahu, Ema punya banyak tugas pribadi sebagai pengajar les, produsen totebag handmade, belum lagi pekerjaan rumahnya. Entah kapan tubuh kurus itu akan beristirahat.
Begitulah Ema. Perbuatan paling dibenci Ema di dunia ini adalah merepotkan orang lain. Anehnya, Ema begitu mencintai perasaan dan aktivitas "direpotkan". Aku tidak habis pikir dengan sahabatku ini. Bagaimana bisa seseorang mencintai yang dilakukannya tapi membenci yang orang lain lakukan terhadapnya. Sebaliknya, yang aku yakini kebanyakan orang tidak akan melakukan apa yang dibencinya. Logikanya
kamu tidak akan merepotkan orang lain karna kamu benci direpotkan, bukan? Atau..biasanya kamu santai saja minta tolong pada seseorang karena kamu senang juga jika dimintai tolong.
Sejak kecil, Ema tinggal sendiri. Orang tuanya pergi tanpa kabar, meninggalkan Ema di sebuah musholla di tengah pekampungan saat hujan sedang lebat-lebatnya. Ema yang waktu itu belum sekolah terus saja menunggu hingga ia tertidur. Suara adzan subuhlah yang membangunkan Ema. Kenyataan bahwa bapak maupun mak tidak menjemput Ema membuatnya menangis meraung-raung. Jelas saja itu mengganggu aktivitas shalat berjamaah. Setelah salam dan doa, seorang ustadz berjanggut putih serta sorban dengan warna tak jauh beda memangku dan menepuk-nepuk pelan punggung Ema. Beliaulah yang menjadi wali Ema selama tujuh tahun. Kakek membiayai kehidupan Ema hingga ia menamatkan sekolah dasar. Well, aku tahu beliau berjasa dalam hidup sahabatku ini. Akan tetapi yang aku tidak senang adalah pesan terakhirnya pada Ema, agar hidup mandiri. Huh, makanya Ema begitu sifatnya. Duh, kenapa aku jadi kesal begini.
Bel tanda jam pelajaran terakhir harus segera disudahi membuyarkan lamunanku tentang Ema.
"Ema, kita ngga pulang bareng dong?"
"Maaf ya Mil, iya. Aku harus nemani ketua kelas belanja" ucap Ema sambil tersenyum dan merapikan laci mejanya.
Tiba-tiba sebuah kertas berwarna biru bergambar karakter spiderman terjatuh. Ema membuka kertas itu penasaran. Dari hasil intipanku, di sana tertulis
Ema, jika ada yang perlu dibantu kabari aku :-)
Hanya itu.
"Beuuh, menawarkan bantuan tapi ngga jelas identitas pengirimnya. Ckckck niat ngga sih -_-" Aku menggerutu. Abai terhadap ekspresi Ema setelah membaca kalimat di kertas itu.
Bersambung
Tidak ada komentar: