Hadiah Terindah
Bismillah,
Aku tidak ingat kapan awalnya aku menjadi candu mendengar cerita ibu.
Ibu bilang ia tidak suka bercerita pada siapapun termasuk pada Ayah. Mungkin itu sebabnya aku selalu antusias saat ibu mulai menawarkan kisah-kisah ajaibnya. Aku merasa spesial dibanding Ayah. Ah, berebut Ibu dengan Ayah selalu menyenangkan karena bisa dipastikan aku menang. Haha!
Malam itu, ibu bercerita soal hadiah. Ibu memulainya dengan sebuah pertanyaan.
"Selamat malam mujahid Ibu. Sudah siap memulai momen paling asik hari ini?!"
Ibu selalu antusias memulai kisahnya. Ini sama sekali tidak mengurangi betapa lembut dan menenangkan suara ibu bagi ulu hati hingga ubun-ubunku.
"Syiiaaappp Ibu cantiik!" Jangan ragukan betapa bersemangatnya aku menunggu momen ini. Rasanya, aku ingin pagi tanpa siang langsung menyentuh malam.
"Hehe. Jadi, Ibu punya pertanyaan dulu. Hadiah apa yang paling indah dalam kehidupan ini? Hayoo!" Ibu dengan gaya khasnya mengajakku masuk ke dunia imajinasi, bukan! Belakangan aku paham, ini adalah dunia filosofi hidup yang entah bagaimana menjadi seru bagi anak-anak sepertiku kala itu.
"Ehmm, hadiah dari santa claus untuk anak-anak baik sepertiku?
"Memangnya anak Ibu tega melihat seorang kakek berkeliling dunia demi memberi hadiah di waktu-waktu puncak dinginnya bumi? Bagaimana bila itu Angku*? "
"Tidak. Aku lebih senang Angku terbang ke sini dan bermain bersamaku di depan api unggun. Aku yakin Angku belum pernah merasakannya di sana"
"Nah, ahsanta mujahid kecil. Dan.. mari kita katakan bahwa kisah santa claus itu bukan bagian dari kisah 'kita', oke?"
"Ah, iya Bu. Kisah itu milik Goerge ya Bu?"
"Benar sekali"
"Kalau begitu, hadiah ulang tahun dari Ibu untukku?"
"Ada yang lebih baik dari itu.." Ibu masih tersenyum, seperti menantangku namun menyemangati di saat yang bersamaan
"Ibu! Aku tahu. Hadiah terbaik dalam kehidupan Ibu adalaaaaaaah Aku!"
"Oh? Ahahahahaha. Nice catch Nak! Hadiah terbaik dari Ilahi untuk Ibu dan Ayah memang pahlawan kecil Ibu"
"Lalu hadiah terbaik dalam kehidupan apa Ibuu?" Ibu terdiam mendengar desakanku. Menatapku lama dan dalam seraya berujar pelan dan bergetar
"Kematian, Nak" hening sejenak. Aku tidak berniat memutus pembicaraan Ibu.
"Kematian adalah hadiah terbaik dari Ilahi untuk hamba-Nya. Dengan kematian, kita menjadi lebih dekat pada pertemuan. Anak ibu masih ingat ketika Ayah diundang untuk menerima nobel sebagai ilmuan berpengaruh dekade ini? Apa yang Ayah kenakan waktu itu?"
"Jas mahal milik Ayah yang Ibu beli. Aku ingat Ayah tidak sepakat saat Ibuu membelinya setelah mengetahui Ayah akan menghadiri acara istimewa itu. Padahal saat memakainya Ayah keren sekali"
"Begitulah, bahkan untuk menerima hadiah, kita perlu mengenakan pakaian terbaik kita. Dalam hidup, pakaian terbaik itu bernama 'amalan shalihan, perbuatan-perbuatan baik yang dijahit dengan benang ketaqwaan. Jangan sampai saat menerima hadiah, menyambut kematian itu, kita kotor dan dekil karena perbuatan buruk kita. Kalau Ayah ke sana mengenakan baju bekas dipakai berkebun, yang belum Ibu cuci..."
"Ahahaha. Ayah tetap akan menerima nobel itu tapi menahan malu ya Bu? Hari itu Raja akan menyerahkan nobel pada Ayah sambil menutup hidungnya menggunakan penjepit jemuran milik Ibu"
"Tepat sekali! Kasihan sekali Rajanya.
Ohya. yang lebih seru dari hadiah ini adalah kita tidak pernah tahu kapan akan menerimanya Nak. Konsepnya berbeda dengan acara Ayah yang disertai undangan, karena ini adalah kejutan. Kejutan yang bisa kita buat menjadi baik. Kalau seorang anak mengerjai temannya dengan memberikan telur busuk, maka kejutan yang ia terima juga bisa jadi telur busuk. Namun jika anak ibu memberikan hadiah pita rambut warna biru kesukaan Aliya di hari ulang tahunnya, pahlawan ini akan mendapat kebaikan pula bersama kejutan, dari siapapun itu.
"Ah Ibuuuu. Jangan keras-keras Bu. Kalau Ayah dengar, Ayah akan menggodaku dan membongkar rahasia ini kepada Abu-nya Aliya.
"Hehe, oke oke." Ibu tersenyum sambil menempelkan telunjuk dan ibu jari, lalu menggerakkannya dari ujung ke ujung bibir sebagai isyarat menjaga rahasia.
"Rahasia apa yang Ayah lewatkan!" Kepala Ayah tiba-tiba muncul di balik pintu. Benar-benar mengagetkan!
"Ngagetin Ay! Nah, Nak. Ayo kita bersiap menerima hadiah terbaik kita. Sikat gigi dulu dan berwudhu. Jangan sampai nafas kita bau naga! Hahaha"
"Okee Bu"
"I, nanti cerita yaa!" Pinta Ayah pada Ibu sambil melirikku.
"Selain hitung domba, apa cara yang lebih keren agar terlelap?"
Aku puas Ibu sengaja mengacuhkan Ayah. Hahaha. Tentu saja karena Ibu sudah janji padaku menjaga rahasia maha dahsyat itu.
"Ulang-ulang istigfar Bu~~ " Melihat Ibu dengan senyum terbaikku lantas mengarahkan pandangan ke Ayah dengan tawa "terbaikku"
Momen ini selalu ditutup dengan pertanyaan yang sama dan perasaan bahagia-ku, yang juga sama. Setelah memastikan ritual sebelum tidurku, Ibu dan Ayah berlalu meninggalkan kamar. Samar-samar kudengar Ayah masih membujuk Ibu menceritakan rahasiaku.
Ah, semoga Ayah tidak bertanya macam-macam mengenai Aliya yang membuat Ibu luluh.
*(panggilan kakek oleh orang Minangkabau)
----
Siapa sangka, cerita Ibu malam itu menjaga langkah-langkahku hingga hari ini?
...
Aku tidak ingat kapan awalnya aku menjadi candu mendengar cerita ibu.
Ibu bilang ia tidak suka bercerita pada siapapun termasuk pada Ayah. Mungkin itu sebabnya aku selalu antusias saat ibu mulai menawarkan kisah-kisah ajaibnya. Aku merasa spesial dibanding Ayah. Ah, berebut Ibu dengan Ayah selalu menyenangkan karena bisa dipastikan aku menang. Haha!
Malam itu, ibu bercerita soal hadiah. Ibu memulainya dengan sebuah pertanyaan.
"Selamat malam mujahid Ibu. Sudah siap memulai momen paling asik hari ini?!"
Ibu selalu antusias memulai kisahnya. Ini sama sekali tidak mengurangi betapa lembut dan menenangkan suara ibu bagi ulu hati hingga ubun-ubunku.
"Syiiaaappp Ibu cantiik!" Jangan ragukan betapa bersemangatnya aku menunggu momen ini. Rasanya, aku ingin pagi tanpa siang langsung menyentuh malam.
"Hehe. Jadi, Ibu punya pertanyaan dulu. Hadiah apa yang paling indah dalam kehidupan ini? Hayoo!" Ibu dengan gaya khasnya mengajakku masuk ke dunia imajinasi, bukan! Belakangan aku paham, ini adalah dunia filosofi hidup yang entah bagaimana menjadi seru bagi anak-anak sepertiku kala itu.
"Ehmm, hadiah dari santa claus untuk anak-anak baik sepertiku?
"Memangnya anak Ibu tega melihat seorang kakek berkeliling dunia demi memberi hadiah di waktu-waktu puncak dinginnya bumi? Bagaimana bila itu Angku*? "
"Tidak. Aku lebih senang Angku terbang ke sini dan bermain bersamaku di depan api unggun. Aku yakin Angku belum pernah merasakannya di sana"
"Nah, ahsanta mujahid kecil. Dan.. mari kita katakan bahwa kisah santa claus itu bukan bagian dari kisah 'kita', oke?"
"Ah, iya Bu. Kisah itu milik Goerge ya Bu?"
"Benar sekali"
"Kalau begitu, hadiah ulang tahun dari Ibu untukku?"
"Ada yang lebih baik dari itu.." Ibu masih tersenyum, seperti menantangku namun menyemangati di saat yang bersamaan
"Ibu! Aku tahu. Hadiah terbaik dalam kehidupan Ibu adalaaaaaaah Aku!"
"Oh? Ahahahahaha. Nice catch Nak! Hadiah terbaik dari Ilahi untuk Ibu dan Ayah memang pahlawan kecil Ibu"
"Lalu hadiah terbaik dalam kehidupan apa Ibuu?" Ibu terdiam mendengar desakanku. Menatapku lama dan dalam seraya berujar pelan dan bergetar
"Kematian, Nak" hening sejenak. Aku tidak berniat memutus pembicaraan Ibu.
"Kematian adalah hadiah terbaik dari Ilahi untuk hamba-Nya. Dengan kematian, kita menjadi lebih dekat pada pertemuan. Anak ibu masih ingat ketika Ayah diundang untuk menerima nobel sebagai ilmuan berpengaruh dekade ini? Apa yang Ayah kenakan waktu itu?"
"Jas mahal milik Ayah yang Ibu beli. Aku ingat Ayah tidak sepakat saat Ibuu membelinya setelah mengetahui Ayah akan menghadiri acara istimewa itu. Padahal saat memakainya Ayah keren sekali"
"Begitulah, bahkan untuk menerima hadiah, kita perlu mengenakan pakaian terbaik kita. Dalam hidup, pakaian terbaik itu bernama 'amalan shalihan, perbuatan-perbuatan baik yang dijahit dengan benang ketaqwaan. Jangan sampai saat menerima hadiah, menyambut kematian itu, kita kotor dan dekil karena perbuatan buruk kita. Kalau Ayah ke sana mengenakan baju bekas dipakai berkebun, yang belum Ibu cuci..."
"Ahahaha. Ayah tetap akan menerima nobel itu tapi menahan malu ya Bu? Hari itu Raja akan menyerahkan nobel pada Ayah sambil menutup hidungnya menggunakan penjepit jemuran milik Ibu"
"Tepat sekali! Kasihan sekali Rajanya.
Ohya. yang lebih seru dari hadiah ini adalah kita tidak pernah tahu kapan akan menerimanya Nak. Konsepnya berbeda dengan acara Ayah yang disertai undangan, karena ini adalah kejutan. Kejutan yang bisa kita buat menjadi baik. Kalau seorang anak mengerjai temannya dengan memberikan telur busuk, maka kejutan yang ia terima juga bisa jadi telur busuk. Namun jika anak ibu memberikan hadiah pita rambut warna biru kesukaan Aliya di hari ulang tahunnya, pahlawan ini akan mendapat kebaikan pula bersama kejutan, dari siapapun itu.
"Ah Ibuuuu. Jangan keras-keras Bu. Kalau Ayah dengar, Ayah akan menggodaku dan membongkar rahasia ini kepada Abu-nya Aliya.
"Hehe, oke oke." Ibu tersenyum sambil menempelkan telunjuk dan ibu jari, lalu menggerakkannya dari ujung ke ujung bibir sebagai isyarat menjaga rahasia.
"Rahasia apa yang Ayah lewatkan!" Kepala Ayah tiba-tiba muncul di balik pintu. Benar-benar mengagetkan!
"Ngagetin Ay! Nah, Nak. Ayo kita bersiap menerima hadiah terbaik kita. Sikat gigi dulu dan berwudhu. Jangan sampai nafas kita bau naga! Hahaha"
"Okee Bu"
"I, nanti cerita yaa!" Pinta Ayah pada Ibu sambil melirikku.
"Selain hitung domba, apa cara yang lebih keren agar terlelap?"
Aku puas Ibu sengaja mengacuhkan Ayah. Hahaha. Tentu saja karena Ibu sudah janji padaku menjaga rahasia maha dahsyat itu.
"Ulang-ulang istigfar Bu~~ " Melihat Ibu dengan senyum terbaikku lantas mengarahkan pandangan ke Ayah dengan tawa "terbaikku"
Momen ini selalu ditutup dengan pertanyaan yang sama dan perasaan bahagia-ku, yang juga sama. Setelah memastikan ritual sebelum tidurku, Ibu dan Ayah berlalu meninggalkan kamar. Samar-samar kudengar Ayah masih membujuk Ibu menceritakan rahasiaku.
Ah, semoga Ayah tidak bertanya macam-macam mengenai Aliya yang membuat Ibu luluh.
*(panggilan kakek oleh orang Minangkabau)
----
Siapa sangka, cerita Ibu malam itu menjaga langkah-langkahku hingga hari ini?
...
Tidak ada komentar: