Cukupkan Aku denganMu

Bismillah,


Ya, kalaulah setiap hamba di muka bumi ini menghayati makna kalimat "Hasbiya Allah", niscaya pemahaman ini menolongnya mengikis kerak-kerak ketamakan yang menempel di hati, lalu menggantinya dengan perasaan syukur yang membuahkan kebahagiaan.

Bukankah kita hidup bersama tujuan?
Lalu suatu hari pertanyaan itu muncul. Bagaimana membedakan keinginan dan kebutuhan yang datang bersamaan dengan tujuan itu?
Misalkan, seseorang memiliki tujuan untuk menjadi orang yang bermanfaat dengan menjadi orang kaya yang kelak dapat berderma pada sesama. Ia memilih jalan sebagai developer IT (ini adalah satu dari banyak contoh yang paling dekat dengan lingkungan saya)., nanti punya start up sendiri. Siapa tahu suatu hari nanti bisa selevel perusahaan paling mahal saat ini. Hanya bermodal sebuah halaman dengan satu filled text dan dua button, perusahaan ini dengan bebas menjual kembali informasi yang setiap orang (sadar atau tidak sadar) dengan suka rela memberikan privasi mereka padanya. If  you know what I mean.

Perjalanan ini masih panjang untuknya hingga sampai ke sana.
Hal yang dapat dilakukannya terlebih dahulu mengasah kemampuannya dengan programming skill. Lalu, apakah ini syarat cukup atau syarat perlu? Apakah ini keinginan atau kebutuhan?

Selanjutnya, untuk percepatan melatih kemampuan, ia dapat menggunakan sebuah komputer. Ia bisa belajar berbagai bahasa pemrograman, algoritma. Di komputer itu akan dipasangnya segala aplikasi terkait, IDE, library dan lain-lain. Bagaimana dengan spesifikasi komputer? RAM 2 GB cukup? Atau butuh RAM 32 GB ++? Memorinya? Satu tera, satu peta atau lebih besar daripada itu? Mana yang keinginan mana yang kebutuhan? Jika suatu hari ia ingin melakukan pemodelan dengan DNN (deep neural network)? Spesifikasi komputer tentu turut andil dalam mendukung kecepatan proses pemodelan.

Cerita ini, masih sangat panjang jika diteruskan untuk membedakan kapan tujuan terlalu banyak dipengaruhi keinginan atau justru dicapai dengan pemenuhan kebutuhan. Banyak hal yang kita tidak miliki, tapi dimiliki orang lain. Banyak hal yang kita inginkan ada pada kita namun nyatanya tidak. Lantas, apakah kita mampu memahami bentuk keadilan yang seperti ini? Atau malah mempertanyakan keadilan Ilahi?
Sebelum kita mempertanyakannya, bagaimana jika terlebih dulu adil dalam memenuhi kebutuhan diri, bahwa kita akan merelakan segala keinginan yang berlebihan di luar kesanggupan. Kita akan meningkatkan kreatifitas diri bersemangat memenuhi kebutuhan walau terbatas pada kesanggupan.

Ah ya, dosen saya pernah memberikan analogi menarik soal ini. Permasalahan tentang tindak lanjut kapasitas dan akses data yang membengkak, mengikuti perkembangan tentang apa yang sekarang disebut dengan big data. Prinsip "orang kaya" cenderung memilih tinggalkan barang lama, beli barang baru. Tapi engineer tidak begitu. Kita akan menganalisis struktur data, mana record yang jarang mana dan mana yang sering diakses, bagaimana waktu eksekusi fungsi yang diimplementasikan terhadap data, banyak celah yang dapat dioptimasi? Kita akan melakukan optimasi walau dengan menggunakan media yang sama. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk berhutang pada orang lain atau menyulap diri sendiri untuk memiliki dompet tebal dengan banyak lembar ratus-ribuan.

Hmm, semoga maksud tulisan ini tersampaikan :)

Satu lagi, kalimat ini juga ampuh mengatasi kegalauan.
Tidak ada kesepian, tidak butuh diperhatikan melainkan perhatian Allah yang menjadi impian..

Semoga Allah tetap menjadi yang pertama, semoga Allah limpahkan kita perasaan cukup dengan segala yang ada...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.