Sajadah 1960
Bismillah,
Pagi itu, aku dan adik menunggu nenek untuk berangkat bersama ke masjid. Seharusnya kami ke lapangan, tapi hujan terlalu betah menemani hari sejak sore kemarin hingga pagi ini. Jadilah panitia memberikan pengumuman pemindahan tempat shalat 'id di masjid. Lapangan tentu saja tidak mungkin digunakan. Tempat sujud akan penuh dengan becek nanti.
Tidak lama menunggu, nenek telah siap. Sedia dengan baju terbaiknya. Bukan baju baru, tapi baju kurung yang tampak selalu baru walau berulang kali dikenakan. Tidak ada dari kami yang mampu menandingi betapa wangi, bersih, dan nyamannya pakaian yang telah dicuci nenek dengan tangannya sendiri, apalagi mesin cuci tidak sebanding! Kualitas hasil tangan nenek selalu paling baik, begitu pun soal memasak.
Tidak sama halnya dengan sajadah yang tengah dipegang nenek. Sajadah itu sudah pudar warnanya. Sudah menipis kainnya. Jauh dari kondisi asal yang katanya asli dari negri arab. Jika sajadah itu dulu tebalnnya satu setengah sentimeter, kini berubah menjadi setengah sentimeter ya saja. Tidak empuk, dan meski dengan sajadah itu, dahi tetap saja bisa merasakan dinginnya lantai.
Tapi nenek mencintai sajadah itu. Sajadah yang selalu dipakainya setiap lebaran di 20 tahun terakhir. Sebagaimana cinta nenek pada pemberinya. Kakekku.
Ya sajadah itu adalah mahar. Sajadah yang dibeli kakek tahun 1960 ketika haji ke tanah suci. Ia memohon pada ilahi agar dipertemukan dengan tambatan hati.
Siapa sangka ketika kembali ke tanah air setelah perjalanan tiga bulan, ada nenek yang Pencipta kirim untuk menjawab doa kakek.
Begitulah nenek bercerita padaku tentang sajadah 1960-yang setelah mendengar cerita ini mana mungkin aku tega mengatakannya lusuh lagi.
Hm, Aku sendiri belum pernah bertemu kakek
Pagi itu, aku dan adik menunggu nenek untuk berangkat bersama ke masjid. Seharusnya kami ke lapangan, tapi hujan terlalu betah menemani hari sejak sore kemarin hingga pagi ini. Jadilah panitia memberikan pengumuman pemindahan tempat shalat 'id di masjid. Lapangan tentu saja tidak mungkin digunakan. Tempat sujud akan penuh dengan becek nanti.
Tidak lama menunggu, nenek telah siap. Sedia dengan baju terbaiknya. Bukan baju baru, tapi baju kurung yang tampak selalu baru walau berulang kali dikenakan. Tidak ada dari kami yang mampu menandingi betapa wangi, bersih, dan nyamannya pakaian yang telah dicuci nenek dengan tangannya sendiri, apalagi mesin cuci tidak sebanding! Kualitas hasil tangan nenek selalu paling baik, begitu pun soal memasak.
Tidak sama halnya dengan sajadah yang tengah dipegang nenek. Sajadah itu sudah pudar warnanya. Sudah menipis kainnya. Jauh dari kondisi asal yang katanya asli dari negri arab. Jika sajadah itu dulu tebalnnya satu setengah sentimeter, kini berubah menjadi setengah sentimeter ya saja. Tidak empuk, dan meski dengan sajadah itu, dahi tetap saja bisa merasakan dinginnya lantai.
Tapi nenek mencintai sajadah itu. Sajadah yang selalu dipakainya setiap lebaran di 20 tahun terakhir. Sebagaimana cinta nenek pada pemberinya. Kakekku.
Ya sajadah itu adalah mahar. Sajadah yang dibeli kakek tahun 1960 ketika haji ke tanah suci. Ia memohon pada ilahi agar dipertemukan dengan tambatan hati.
Siapa sangka ketika kembali ke tanah air setelah perjalanan tiga bulan, ada nenek yang Pencipta kirim untuk menjawab doa kakek.
Begitulah nenek bercerita padaku tentang sajadah 1960-yang setelah mendengar cerita ini mana mungkin aku tega mengatakannya lusuh lagi.
Hm, Aku sendiri belum pernah bertemu kakek
Tidak ada komentar: