Nyaman-Benar

Bismillah,

Ada perbedaan yang nyata antara nyaman dan benar, dalam kenyamanan serta kebenaran.
Dan saya pikir kita perlu benar-benar memperhatikan keduanya.

Kita sering terjebak dalam suatu hubungan atau keadaan yang menurut kamus sendiri terdefinisi sebagai sebuah kenyamanan. Nyaman. Entah dari mana asalnya perasaan itu muncul, yang jelas otak dan hati kita mengaminkan. Perasaan itu mampu membuat kita "betah" untuk tetap bertahan pada apa yang sedang kita jalani saat ini, tanpa pernah terpikir untuk pindah "move on" membentuk hubungan atau keadaan baru sebagai subtitusi kenyamanan yang telah diperoleh pada keadaan sebelumnya. Saya pikir hal tersebut naluriah. Tidak ada orang yang benar-benar "(sok) berani dan siap" untuk berkompromi dengan ketidakpastian, menjadi realistis adalah jalan aman. Kalaupun ada, yang ia miliki adalah keyakinan, faith. Siapa pula yang mau mengganti kenyamanan yang telah didapatkannya dengan sesuatu yang baru tanpa jaminan ia akan mendapatkan kenyamanan yang sama, bahkan lebih. Kecuali dalam dirinya selalu ada faktor tidak pernah puas.

Namun, hal yang sering terlewat dari sebuah nyaman adalah pertimbangan terhadap nilai-nilai kebenaran yang mendasarinya.
Tidak seluruh nyaman adalah benar, namun yang benar mampu menumbuhkan dan menyuburkan pohon kenyamanan hingga berbunga subur
Kita kadang merasa nyaman dengan hubungan atau kondisi yang kita jalani, tapi kenapa kita alfa terhadap kebenaran yang tersembunyi? Atau bahkan sesungguhnya kebenaran itu nyata. Kita jelas memahaminya dengan sangat baik, tapi perasaan nyaman (yang kita aminkan sendiri tadi) membuat kita abai. Hingga kebenaran telah dikalahkan oleh kenyamanan dalam sebuah perang pikiran dan perasaan.

Contoh (yang tidak pula dapat dikatakan) kecil, adalah mahasiswa yang nyaman dengan game favoritnya, mengabaikan kebenaran bahwa prioritasnya adalah menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik. Oh Please, kenyataannya menyelesaikan tugas akhir yang (tadi saya katakan sebagai sebuah kebenaran) tidak membawa kenyamanan. Kembali, implikasi dari sebuah kenyamanan adalah senang, bahagia. Setidaknya lepas dari beban menyelesaikan "tugas" kebenaran membuat kita lebih nyaman, bukankah orang-orang senang saat selesai sidang? Walau tidak dalam skala kegirangan hingga keliling lapangan bola, ia lega karena sebuah beban terangkat dari pundak.

Contoh besarnya, nanti dulu.
Sebaliknya, hubungan dan keadaan yang dimulai dengan kebenaran, niat yang benar, proses yang benar lagi baik, mengikuti jalan yang benar, tunduk pada aturan (khususnya ilahiyyah), (mari sebut saja saya yakin) akan menjadikan kita nyaman berada dalam hubungan dan kondisi yang kita jalani saat ini bahkan hingga masa depan. Setidaknya, kita akan banyak belajar untuk menciptakan rasa nyaman itu tumbuh dan menyuburkannya.

Pertanyaannya, apakah kita masih nyaman dengan hubungan tanpa syahadat? Dengan kondisi menikmati semua kenyamanan rahmat, entah itu udara, kemampuan mencari nafkah, atau kecerdasan pemikiran, lalu mengabaikan kebenaran bahwa kita adalah hamba yang mesti bersyukur dengan shalat dan zakat?

Semoga Allah menyelamatkan jiwa yang pernah lalai dalam kenyamanannya, untuk kembali pada keridhaan-Nya. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.