Belajar Mulia dari Supir Angkot
Bismillah,
Sebuah cerita yang dipetik dari apa yang terjadi hari ini.
Belajar mulia dari supir angkot.
Tadi sekitar jam tujuh pagi, saya sudah keluar dari kosan menaiki angkot menuju suatu tempat. Bepergian pagi dari kosan bukanlah hal asing. Namun, apa yang saya alami pagi ini cukup berbeda. Mengalami kembali pola yang telah saya hafal ketika saya masih di sekolah dasar.
Dulu, untuk mengurangi beban transportasi antar jemput menggunakan bis sekolah, saya dan kakak naik angkot dari rumah ke sekolah, walaupun kadang-kadang kami pergi diantar orang tua. Perjalanan dari rumah ke sekolah bukanlah perjalanan yang singkat. Rumah di pinggiran kota, sementara sekolah di pusat kota. Perjalanan bisa menempuh waku 30-45 menit menggunakan angkot. Salah satu hal yang membuat perjalanan cukup lama adalah rute angkot yang harus melewati pasar. Bisa dibayangkan, ketika sampai di pasar, banyak ibu-ibu yang mulai memenuhi angkot dengan karung-karung sayur-mayur, ataupun ember-ember berisi ikan-ikan dan hasil laut segar lainnya. Bau? Ya, tentu saja tidak dapat dipungkiri bau adalah aroma yang melekat dengan pasar. Saya cukup beruntung jika bau itu baru tercium dari pasar menuju sekolah, karena jarak pasar dan pemberhentian angkot untuk ke sekolah cukup dekat. Namun, jam enam berangkat dari rumah bagi ibu-ibu yang akan membuka warung adalah sebuah keterlambatan. Persaingan di pasar pagi sangat ketat. Jika tidak ingin kehabisan stock barang, datanglah lebih bagi agar dapat memilih bahan/barang yang lebih bagus, bukan sisa-sisa pilihan orang. Artinya, saya yang baru berangkat jam 6 ke sekolah bisa saja mendapat angkot yang telah dipenuhi aroma pasar pagi. Meskipun angkot itu kosong, tapi "air ikan" yang tumpah dari belanjaan ibu-ibu (Ya, ibu-ibu, karna saya nyaris tak pernah menemukan bapak-bapak yang belanja, kecuali ia adalah orang yang membantu mengangkat-angkat barang belanjaan) masih tersisa dan baunya memenuhi ruang angkot. Itu pula yang saya rasakan kembali pagi ini.
Angkot yang saya naiki sepertinya telah dipenuhi aroma pasar pagi. Bau? Ya, bau yang sama yang saya kenal dahulu. Spontan saya memperhatikan ekspresi pak supir. Beliau tampak santai, tak terganggu. Kembali, saya teringat salah satu cerita hikmah yang pernah saya dengar ketika di asrama dulu. Tentang belajar menjadi mulia.
Seorang murid bertanya pada gurunya, "Wahai guru, bagaimana cara agar saya menjadi mulia?". Sang guru menjawab, "lakukanlah pekerjaan yang hina di mata manusia". "Hina?", Sang murid bertanya lagi. "Ya, bersihkanlah setiap toilet umum yang kau temui, sapulah jalan raya tanpa mengharapkan imbalan, bersihkan tempat pembuangan akhir sampah-sampah yang dihasilkan manusia dengan tanganmu sendiri. Lakukan terus hingga kau menemukan arti kemuliaan di dalamnya"
Tentu saja definisi pekerjaan yang hina harus jelas di sini. Pekerjaan hina bukanlah pekerjaan tercela, bukan mencuri atau pekerjaan haram lainnya. Pekerjaan hina yang dimaksud adalah perkerjaan yang oleh manusia dianggap remeh, sepele, rendah bahkan menjijikkan.
Kita (atau hanya saya?) mungkin pernah berpikir bahwa pekerjaan menjadi supir angkot adalah pekerjaan sepele. Namun, kita terlupa bahwa supir angkot mungkin bisa lebih akrab dengan keikhlasan dibandingkan diri kita sendiri. Hanya dibayar tiga hingga lima ribu untuk bau yang harus ditanggungnya seharian. Rela menerima ongkos kurang dari penumpang yang tanpa terima kasih langsung saja ngacir setelah memberikan sejumlah uang pada supir angkot. Pun, ikhlas membersihkan muntah anak kecil yang tak pernah sengaja mengotori angkot mereka.
Ya, aku pikir kita bisa belajar bagaimana menjadi mulia dari para supir angkot.
Omong-omong, apakah kamu pernah melakukan hal yang disarankan Sang Guru? Mau mencobanya?
Sebuah cerita yang dipetik dari apa yang terjadi hari ini.
Belajar mulia dari supir angkot.
Tadi sekitar jam tujuh pagi, saya sudah keluar dari kosan menaiki angkot menuju suatu tempat. Bepergian pagi dari kosan bukanlah hal asing. Namun, apa yang saya alami pagi ini cukup berbeda. Mengalami kembali pola yang telah saya hafal ketika saya masih di sekolah dasar.
Dulu, untuk mengurangi beban transportasi antar jemput menggunakan bis sekolah, saya dan kakak naik angkot dari rumah ke sekolah, walaupun kadang-kadang kami pergi diantar orang tua. Perjalanan dari rumah ke sekolah bukanlah perjalanan yang singkat. Rumah di pinggiran kota, sementara sekolah di pusat kota. Perjalanan bisa menempuh waku 30-45 menit menggunakan angkot. Salah satu hal yang membuat perjalanan cukup lama adalah rute angkot yang harus melewati pasar. Bisa dibayangkan, ketika sampai di pasar, banyak ibu-ibu yang mulai memenuhi angkot dengan karung-karung sayur-mayur, ataupun ember-ember berisi ikan-ikan dan hasil laut segar lainnya. Bau? Ya, tentu saja tidak dapat dipungkiri bau adalah aroma yang melekat dengan pasar. Saya cukup beruntung jika bau itu baru tercium dari pasar menuju sekolah, karena jarak pasar dan pemberhentian angkot untuk ke sekolah cukup dekat. Namun, jam enam berangkat dari rumah bagi ibu-ibu yang akan membuka warung adalah sebuah keterlambatan. Persaingan di pasar pagi sangat ketat. Jika tidak ingin kehabisan stock barang, datanglah lebih bagi agar dapat memilih bahan/barang yang lebih bagus, bukan sisa-sisa pilihan orang. Artinya, saya yang baru berangkat jam 6 ke sekolah bisa saja mendapat angkot yang telah dipenuhi aroma pasar pagi. Meskipun angkot itu kosong, tapi "air ikan" yang tumpah dari belanjaan ibu-ibu (Ya, ibu-ibu, karna saya nyaris tak pernah menemukan bapak-bapak yang belanja, kecuali ia adalah orang yang membantu mengangkat-angkat barang belanjaan) masih tersisa dan baunya memenuhi ruang angkot. Itu pula yang saya rasakan kembali pagi ini.
Angkot yang saya naiki sepertinya telah dipenuhi aroma pasar pagi. Bau? Ya, bau yang sama yang saya kenal dahulu. Spontan saya memperhatikan ekspresi pak supir. Beliau tampak santai, tak terganggu. Kembali, saya teringat salah satu cerita hikmah yang pernah saya dengar ketika di asrama dulu. Tentang belajar menjadi mulia.
Seorang murid bertanya pada gurunya, "Wahai guru, bagaimana cara agar saya menjadi mulia?". Sang guru menjawab, "lakukanlah pekerjaan yang hina di mata manusia". "Hina?", Sang murid bertanya lagi. "Ya, bersihkanlah setiap toilet umum yang kau temui, sapulah jalan raya tanpa mengharapkan imbalan, bersihkan tempat pembuangan akhir sampah-sampah yang dihasilkan manusia dengan tanganmu sendiri. Lakukan terus hingga kau menemukan arti kemuliaan di dalamnya"
Tentu saja definisi pekerjaan yang hina harus jelas di sini. Pekerjaan hina bukanlah pekerjaan tercela, bukan mencuri atau pekerjaan haram lainnya. Pekerjaan hina yang dimaksud adalah perkerjaan yang oleh manusia dianggap remeh, sepele, rendah bahkan menjijikkan.
Kita (atau hanya saya?) mungkin pernah berpikir bahwa pekerjaan menjadi supir angkot adalah pekerjaan sepele. Namun, kita terlupa bahwa supir angkot mungkin bisa lebih akrab dengan keikhlasan dibandingkan diri kita sendiri. Hanya dibayar tiga hingga lima ribu untuk bau yang harus ditanggungnya seharian. Rela menerima ongkos kurang dari penumpang yang tanpa terima kasih langsung saja ngacir setelah memberikan sejumlah uang pada supir angkot. Pun, ikhlas membersihkan muntah anak kecil yang tak pernah sengaja mengotori angkot mereka.
Ya, aku pikir kita bisa belajar bagaimana menjadi mulia dari para supir angkot.
Omong-omong, apakah kamu pernah melakukan hal yang disarankan Sang Guru? Mau mencobanya?
Belajar Mulia dari Supir Angkot
Reviewed by Kisah Fajr
on
Desember 25, 2014
Rating: 5