Memaafkan Luka

Bismillah,

Belakangan terjadi tindak kekerasan di sekitar kampus. Lokasinya pas dengan kediaman teman di mana saya sedang rajin bersilaturrahim ke sana. Sejak awal di Bandung, bahkan sebelum ke Bandung saya telah sering mendengar kabar paus kalau di kota ini begini lah, begitu lah. Jadi harus pinter-pinter jaga diri. Kalau jalan sendiri tawakal harus berlipat-lipat. Intensitas bacaan Al-Falaq lebih sering. Al-Quran itu memang penawar!
Lanjut, karena kejadian ini, seperti yang seharusnya dilakukan, kita orang jadi melipatgandakan tawakal. Tapi tetap saja skenario di otak suka muncul tiba-tiba kayak lampu-lampu ide. Tidak, tapi ini skenario seram.

Kebayang,
Tiba-tiba ada yang nodong saya pake pisau gunting kuku. Trus minta duit, saya ngga mau. Orang kalau belanja aja nawar, ini malah minta. Karena saya ngga mau, saya melakukan perlawanan. Hiak! Ciat, Eits! Pletak! Gedebug! Keluarlah jurus lari macan! Tapi si penodong lebih gesit, sebelum langkah seribu dikeluarkan dan badan terlanjur jadi korban. Saya pun terus berjuang untuk lari dan mencari pertolongan. (Sinetron banget? Ngga kok, ini film action, haha). Cut! 

Bayangan itu harus buru-buru dihapus. Bukan mendoakan keburukan buat diri sendiri, maksudnya sih jangan sampai kayak gitu a'udzubillah min dzalik. Jadi harus lebih waspada.
Alhamdulillah, ngga ada kejadian apa-apa. Semoga tidak akan ada. Oiya, cerita di atas cuma epilog.
*swiingg ~ angin bertiup.
Pembaca: Apa yang membuat lo berpikir gw mau baca epilog kayak gitu?
Saya: Kan aliran membacanya dari atas ke bawah \( '-')v

Kemudian,
Setelah membayangkan skenario itu, sehari setelahnya saat sedang merapikan kertas-kertas untuk suatu keperluan,  telunjuk tangan kiri terluka, teriris oleh si tangan kanan menggunakan cutter. Baretannya seperti ketika mengupas daging buah mangga, tapi ngga sampai selesai. Masih tersisa kulit ari yang masih berjuang merekatkan hasil potongan. Jadi teringat lagi tentang skenario random otak sebelumnya. Cuma kepotong satu centi aja, sudah sakit sekali. Berdenyut-denyut pedih. Apalagi kalau sampai terluka dan lain-lain. Sakitnya, mungkin kita orang tak sanggup menanggung. Pas seminggu sejak tangan terluka, dagingnya belum menyatu sempurna dan masih bisa digeser-geser. Seram banget ya. Sekarang kurang lebih sebulan jari nya sudah baikan alhamdulillah, dagingnya tumbuh sendiri, dan membentuk kulit sendiri. Tapi namanya luka ada bekasnya. Sesungguhnya tangan kanan sudah minta maaf ke telunjuk kiri setulus hati jari, telunjuk kiri pun sudah memaafkan dengan setulus hati jari.

Hey, Teman!
Aku pikir aku mengeti rasa luka. Walaupun objek luka kita berbeda. Tapi aku cukup belajar dari ini. Ketika terluka, ada rasa pedih. Setelahnya, ada bekas luka. Di awal-awal, bekas luka itu mungkin masih menyisakan sakit, tapi aku sendiri punya pilihan untuk menutupnya dengan hansaplast agar tak tersinggung oleh benda-benda lain hingga ia sembuh. Agar sakitnya tidak jadi lebih sakit. Ya, aku memilih begitu. Menutupnya rapat-rapat.
Jika hal yang sama kamu lakukan, apa itu pilihan yang terlalu sulit? Padahal ini kesempatan kita berlatih untuk memaafkan, baik kesalahan diri sendiri atau orang lain. Jika tangan kiriku tidak mampu memaafkan tangan kanan dan mereka tak lagi saling bertegur sapa, bagaimana ketika keduanya saling membutuhkan kelak?

Ayo, Sahabat! Jangan biarkan hatimu terisi luka-luka lama yang telah berkarat. Nanti hatimu kehilangan hikmah & kebijaksanaan. Sudah ya, buang saja luka-luka itu! Tapi jangan ke laut, sudah cukup laut menanggung semua sampah-sampah hasil tindakan tak bertanggung jawab manusia. Letakkan luka-luka itu dalam ruang maaf terbesar di hatimu dan ucapkan hasbunallah wa ni'mal wakil, luka-luka itu akan hilang dengan sendirinya. Ssst, ini mantra rahasia! :-)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.