Setunduk Bumi
Bismillah
Belakangan, tampaknya hujan ogah mampir di kota tinggalku. Entah sebab apa. Sudah dua minggu kami tunggu, tapi bahkan untuk sekedar memberi harapanpun hujan enggan. Pernah suatu waktu langit gelap, ternyata cuma lewat. Tak pernah sampai barang setetes kawanan hujan yang sedang berpesta ria di awan kelam itu ke tanah bumi. Mereka sibuk bercengkrama sesamanya, tidak berniat mengakhiri perkumpulan.
Satu minggu, orang-orang desaku masih tampak santai. Toh, kami juga diuntungkan. Perjalanan ke sawah, ladang, pun ke ibu kota tak ada halangan. Para ibu juga sibuk dengan tumpukan setrikaan. Tidak ada kain lembab, tidak ada becek yang biasa jadi tersangka utama penyebab kumalnya baju para anak. Hingga akhir minggu kedua ini, hati mulai was-was.
Kepala mulai dipenuhi sangkaan. Ini ujian, ini kemarahan Tuhan. Ada yang lebih parah, mereka yang justru memarahi Tuhan sebab tak menurunkan hujan. Lupa kalau sebelumnya hati amat bersyukur tak diperhatikan hujan. Ya, kini bahkan masuk minggu keempat. Hujan tak kunjung tiba.
Saat manusia di atasnya sibuk bersusah hati, bumi teguh dalam ketundukan. Mengikuti titah Tuhan. Sungguh! Tidak ada manusia yang paham, betapa bergejolak inti bumi. Tentu ia lebih butuh air untuk menahan agar manusia tetap dapat bertahan, sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Bumi tak menuntut. Bumi tak berguncang. Bumi tak merengek. Memasuki genap satu bulan tanpa hujan, bumi tetap tenang, bersabar tunduk pada Tuhan. Saat keluhan demi keluhan di atas sana mulai menyebar. Saling mempengaruhi pikiran manusia satu dengan yang lain, Bumi berjaga. Begitulah ia menghamba.
Akhirnya hujan mampir di malam gulita. Terpaksa, sebab manusia mengadu-ngadu iba.
Keesokan paginya, manusia bertanya-tanya mengapa sebentar saja hujan turun?! Mereka alfa menyaksikan betapa pagi itu Bumi tampak amat tentram, sejuk, nyaman selayak pelukan ibu yang mengasihi anaknya.
Ah! Padahal bumi bukan sebaik-baik ciptaan, jadi siapakah yang lebih patut berjaga dalam ketundukan?