Anak Udang
Bismillah
"Coba sekarang isna, kerjakan soal ini!"
Pak Guru mengetuk-ngetuk kapur ke papan tulis membuat aku terpaksa berdiri. Mengapa pula ada soal matematika di jam tanggung begini. Tinggal 15 menit lagi padahal, kami bisa pulang.
Aku melangkah gontai ke depan kelas menyambut kapur yang diberikan Pak Guru.
Sejenak aku berpikir...
...
Aku ada ide!
Kucoret saja papan tulis ini bak benang kusut lalu segera mengambil langkah seribu menyusul amak di pasar. Tentu saja lancar, aku kabur dengan mudah!
---
"Oi Isna! Gara-gara kau, kita sekelas mendapat tambahan pr matematika lagi hari ini!"
"Iya! Betul itu, ini kerjakanlah olehmu tugas-tugas kami! Dasar anak udang, jangan-jangan isi otakmu juga begitu! Hahahhaha"
Kasar sekali...
Dua teman asingku itu--katakan saja aku tidak mau menyebut diriku dekat dengan mereka--seenaknya saja mengata-ngataiku di depan amak saat kami sedang fokus membuang kepala udang. Iya, amak adalah salah seorang pedagang kecil di pasar desa. Dan yap, amak hanya menjual udang meneruskan usaha almarhum abak sebagai nelayan udang. Beliau membesarkanku seorang diri sejak 17 tahun terakhir.
Sejujurnya satu tahun belakangan aku tidak punya semangat belajar. Duduk di kelas 3 SMA Negeri tidak memberi jaminan apa-apa sekolah tinggiku terjamin. Sekarang, kita jelas-jelas saja kawan, membantu amak lebih nyata hasilnya, amak tidak terlalu payah di pasar dan duit hasil usahaku pun nampak.
Ah, aku alfa menyaksikan ekspresi amak. Padahal tadi sepanjang bekerja sejak aku pulang amak gembira sekali. Kalimat kedua orang asing itu berhasil mengubah air muka amak. Aku tidak suka ini!
Kami pulang dengan ekspresi amak yang masih sama.
" Mak, maafkan ina.." Aku menarik tangan amak, menciumnya dalam-dalam. Kalian tahu? Tangan ini, tangan yang keriput lagi bau kotoran udang ini adalah tangan amakku tercinta. Tangan amak adalah tangan paling bersih dan wangi bagiku karena tidak pernah dikotorinya untuk memukulku, anaknya. Tidak digunakannya untuk meminta-minta. Tidak digunakan amak untuk memberatkan timbangam dagangnya.
"Na, sudah lebih dari tiga kali kawanmu mampir dan memperingatkanmu nak..Mengapa tak anak patuhi perintah bapak guru?"
Mana berani aku menjawab kalau amak sudah marah begini.
"Nak, ina menyakiti amak dengan membiarkan orang-orang memanggilmu otak udang. Tidakkah anak perhatikan tadi isi kepala udang? Kita buang itu nak, tidak ada yang suka, bau, pahit! Mau kamu begitu?"
Sejak hari itu, Amak menghukumku dengan mendiamkanku. Berbicara sekadarnya padaku.
Aku sibuk mencari perhatian amak dengan belajar yang baik.
Mogok bicara beliau reda, saat aku beritakan bahwa aku lulus sebagai calon mahasiswa teknik sipil di salah satu PTN.
Oiya kawan,
Kamu tahu? Kalau rasanya sulit sekali menjaga semangat belajarmu,
Bukankah tidak sulit menjaga cinta pada orang tua yang juga amat mencintaimu?
"Coba sekarang isna, kerjakan soal ini!"
Pak Guru mengetuk-ngetuk kapur ke papan tulis membuat aku terpaksa berdiri. Mengapa pula ada soal matematika di jam tanggung begini. Tinggal 15 menit lagi padahal, kami bisa pulang.
Aku melangkah gontai ke depan kelas menyambut kapur yang diberikan Pak Guru.
Sejenak aku berpikir...
...
Aku ada ide!
Kucoret saja papan tulis ini bak benang kusut lalu segera mengambil langkah seribu menyusul amak di pasar. Tentu saja lancar, aku kabur dengan mudah!
---
"Oi Isna! Gara-gara kau, kita sekelas mendapat tambahan pr matematika lagi hari ini!"
"Iya! Betul itu, ini kerjakanlah olehmu tugas-tugas kami! Dasar anak udang, jangan-jangan isi otakmu juga begitu! Hahahhaha"
Kasar sekali...
Dua teman asingku itu--katakan saja aku tidak mau menyebut diriku dekat dengan mereka--seenaknya saja mengata-ngataiku di depan amak saat kami sedang fokus membuang kepala udang. Iya, amak adalah salah seorang pedagang kecil di pasar desa. Dan yap, amak hanya menjual udang meneruskan usaha almarhum abak sebagai nelayan udang. Beliau membesarkanku seorang diri sejak 17 tahun terakhir.
Sejujurnya satu tahun belakangan aku tidak punya semangat belajar. Duduk di kelas 3 SMA Negeri tidak memberi jaminan apa-apa sekolah tinggiku terjamin. Sekarang, kita jelas-jelas saja kawan, membantu amak lebih nyata hasilnya, amak tidak terlalu payah di pasar dan duit hasil usahaku pun nampak.
Ah, aku alfa menyaksikan ekspresi amak. Padahal tadi sepanjang bekerja sejak aku pulang amak gembira sekali. Kalimat kedua orang asing itu berhasil mengubah air muka amak. Aku tidak suka ini!
Kami pulang dengan ekspresi amak yang masih sama.
" Mak, maafkan ina.." Aku menarik tangan amak, menciumnya dalam-dalam. Kalian tahu? Tangan ini, tangan yang keriput lagi bau kotoran udang ini adalah tangan amakku tercinta. Tangan amak adalah tangan paling bersih dan wangi bagiku karena tidak pernah dikotorinya untuk memukulku, anaknya. Tidak digunakannya untuk meminta-minta. Tidak digunakan amak untuk memberatkan timbangam dagangnya.
"Na, sudah lebih dari tiga kali kawanmu mampir dan memperingatkanmu nak..Mengapa tak anak patuhi perintah bapak guru?"
Mana berani aku menjawab kalau amak sudah marah begini.
"Nak, ina menyakiti amak dengan membiarkan orang-orang memanggilmu otak udang. Tidakkah anak perhatikan tadi isi kepala udang? Kita buang itu nak, tidak ada yang suka, bau, pahit! Mau kamu begitu?"
Sejak hari itu, Amak menghukumku dengan mendiamkanku. Berbicara sekadarnya padaku.
Aku sibuk mencari perhatian amak dengan belajar yang baik.
Mogok bicara beliau reda, saat aku beritakan bahwa aku lulus sebagai calon mahasiswa teknik sipil di salah satu PTN.
Oiya kawan,
Kamu tahu? Kalau rasanya sulit sekali menjaga semangat belajarmu,
Bukankah tidak sulit menjaga cinta pada orang tua yang juga amat mencintaimu?
Anak Udang
Reviewed by Kisah Fajr
on
April 05, 2019
Rating: 5