Aku dan Ramadhan
Dia masih duduk di sana.
Menatap seksama orang-orang lalu lalang di hadapannya. Aku perhatikan lekat-lekat.
Entah apa arti tatapannya itu, aku menangkap gurat sedih di sana, tapi sudut
senyumannya menyimpan kebahagiaan, ekspresi yang sama selama sebulan. Yah, sejak sebulan yang lalu aku menjemputnya,
ia tetap di sana. Tanpa gerak, tidak goyah. Perlahan aku mendekatinya,
selangkah demi selangkah. Ternyata dia menyadari keberadaanku,
“Hei” sapanya dengan
ceria dan hangat, ia melambai padaku. Bagaimana mungkin ia terlihat begitu
gembira di saat hatiku diselimuti pilu seperti ini!
***
Aku merasa tidak pernah
berubah, tapi kenapa setiap hari dia selalu berubah-ubah. Dulu dia begitu
bahagia saat menjemputku, tapi sekarang matanya seolah-olah membendung air mata
yang seakan berdesakan ingin keluar. Ada apa dengan gadis ini? Sebentar-sebentar
menangis, sebentar-sebentar tersenyum, sesaat kemudian meratap, di lain waktu
gelisah. Sudahlah, aku punya kabar baik untuknya, bahwa sebentar lagi Sahabatku
akan datang.
“Apa itu di tanganmu?”
Aku memperhatikan sebuah kantung kecil yang dibawanya.
“Ah, ini…oh, ini…bukan
apa-apa” jawabnya malu. “Kau sedang sedih? Atau…kau sedang bahagia?” tanyanya
ragu untuk mengganti topik pembicaraan.
“Kau tahu rupanya. Aku
memang sedikit bersedih”
“Kenapa?”
“Coba lihat di seberang
sana. Sejak awal aku berada di sini, orang itu selalu bermain-main. Judi, zina,
mabuk-mabukan ia lakukan seperti hari-hari biasanya. Tidak jauh dari sana,
seorang lagi hanya disibukkan oleh barang canggihnya. Jarinya berputar-putar di
atas keyboard, bukan mengelilingi ruas jari. Mulutnya membisikkan nada-nada
yang membuatnya melupakan Rabb, dan bukan dzikir atau ayat suci Alquran. Dan
amatilah di sebelah sana!”
“Ya?”
“Kau tahu apa yang
dilakukan ibu-ibu itu? Siang dan malam ia biarkan mata dan telinganya untuk
menonton dan mendengar gosip dan ghibah terhadap saudaranya. Apakah mereka
benar-benar tidak sadar bahwa ada aku di sini?!”
***
Aku menatapnya lurus,
pandanganku tidak beralih sepanjang penjelasannya. Setiap kata darinya,
menggambarkan kesedihan dan kekecewaan. Dan ini semakin menyakitkan buatku.
“Tentu mereka
menyadarinya. Mungkin mereka lupa. Ok, lupakan itu. Sekarang ceritakan padaku
apa yang telah membuatmu bahagia?”
***
Setiap ia bertanya, aku
selalu berniat menjawabnya dengan antusias.
“Di balik semua
kesedihanku, semua terobati karena perempuan itu”
“Ada apa dengannya?”
“Sejak menyadari
keberadaanku, ia tidak pernah beranjak dari duduknya selain untuk bersuci,
berbuka, dan makan sahur. Ia shalat dengan bergembira, berbuka dengan gembira,
sahur pun dengan gembira. Sepanjang waktu ia berdzikir. Pemuda lainnya, ia
berkelana di bumi Allah siang hari untuk menegakkan agama-Nya, bahkan ia tahu
ia berpuasa, dan puasanya semakin kuat karna usahanya. Di malam hari ia
sibukkan dirinya untuk menyapa Sang Khalik. Aku benar-benar bangga. Di seberang
lain, ada seorang anak kecil yang berjuang menahan godaan teman-temannya untuk
memakan permen kesukaannya, demi menjaga pesan ibunya agar tidak makan apapun
di siang hari, karena meyakini bujukan ibunya bahwa Tuhan akan memberikan permen
yang lebih nikmat daripada yang ditawarkan temannya. Lucu sekali!”
“Kalau begitu, apa aku termasuk orang-orang
yang membuatmu tersenyum?”. Gadis itu bertanya malu-malu. Rabb tentu lebih tahu
jawabannya..
“Lalu, apa kau juga
bersedih karna aku?”
***
Aku sudah tahu
jawabannya. Ia pasti juga bersedih karna aku.
“Maafkan aku..” ucapku
padanya lirih.
“Untuk apa?”
“Aku tidak setia
menemanimu di sini. Terkadang mengacuhkanmu hanya untuk mengangkat teleponku
yang berdering. Terkadang membiarkanmu sendiri karna sibuk mengurusi urusan
duniaku. Terkadang meninggalkanmu hanya karna merasa bosan dan lelah. Maafkan
aku…”
***
Tiba-tiba saja gadis di
hadapanku menangis. Air matanya keluar bercucuran. Seperti menyesal,
“Kau tahu kepada siapa
harus meminta maaf,” Ini adalah jawaban paling tepat menurutku.
“…” Ia tetap menangis.
“Jangan menangis lagi.
Aku punya kabar gembira untukmu. Sebentar lagi sahabatku akan datang”
“Itu artinya…kau akan
pergi?” tanyanya memastikan.
“Ya, untuk sementara,
tenang saja.”
“Tunggu, aku.. tahu..
tidak mungkin melarangmu.. untuk.. tidak pergi, tapi bisakah kau.. tinggal
sedikit lebih lama?” Dari matanya aku tahu ia sedih atas kepergiaku.
“Apa kau tidak senang
atas kedatangan sahabatku?”
“Tidak! Bukan begitu, tentu
saja aku senang. Tidak ada muslim yang tidak senang menyambut sahabatmu. Tapi
aku merasa belum berbuat banyak selama engkau di sini. Aku…Aku…Maafkan aku…”
“Aku tahu kau sudah
berusaha sekuat tenagamu, Rabb melihatmu. Jangan bersedih lagi. Kau bisa
menemuiku tahun depan”
“Bagaimana jika ini
menjadi pertemuanku terakhir denganmu?” Mendengar pertanyaan itu aku tidak
mampu berkutik. Diam, hanya diam.
***
Lama kami terdiam. Aku masih
menangis, menangisi apapun yang bisa kutangisi. Lalu Ia bicara,
“Sebentar lagi, saat
matahari tenggelam, aku harus pergi”
“…”
“Jika mungkin ini
terakhir kalinya kita bertemu, aku pinta jangan mengkhianatiku dan jangan
mengecewakan sahabatku, ya?” Ia mengucapkannya begitu lembut, tapi…
“Maksudku, jadilah
pribadi yang lebih baik. Aku tidak ingin ketika aku pergi, kau alfa, kau lupa
bahwa saat aku di sini kau pernah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahanmu
dan meningkatkan imanmu”
“Iya…” Aku tertunduk
malu. Dalam hatiku, aku pun berharap demikian
“Jadilah manusia yang
diinginkan Rabb dan yang kau harapkan ketika menemuiku, yaitu menjadi umat yang
bertaqwa” Nasehat ini masuk ke seluruh aliran darahku, menyatu dengan nafasku,
membuat jantungku berhenti berdetak untuk sejenak, aku berharap.
Itulah pesan terakhir
yang aku terima dari Ramadhan
***
“Tunggu” Ucap gadis itu
saat aku beranjak dari tempatku
“Tolong aku, berikan
ini untuk Rabbku, dan sampaikan salamku padaNya…” Ia memberikan kantung kecil
yang tadi dibawanya padaku. Aku baru tahu bahwa isinya sangat kecil, tapi begitu
berat. Berlawanan dengan bentuknya. Amalan yang sederhana namun ikhlas. Inilah pertemuan
terakhirku dengan gadis itu. Bingkisannya untuk Rabb akan kusampaikan. Pasti.
Kelak kita akan bertemu lagi di kehidupan yang lebih nyata.
~The End~
taqabbalallahuminna wa minkum
shiyamana wa shiyamakum
shiyamana wa shiyamakum